Minggu, 31 Mei 2020

Beberapa alat transportasi zaman dulu (3): Tenaga kerbau

Jawa, sekitar 1880: Pedati
(klik untuk memperbesar | Herman Salzwedel / © NGA)
Tegal, sekitar 1890: Pedati pengangkut tebu
(klik untuk memperbesar | © NGA)
Sumatera (?), sekitar 1900: Pedati penangkut tebu
(klik untuk memperbesar | © H. Kleinmamm & Co / NGA)

Waktu: 1880, 1890, 1900
Tempat: Tegal, Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: H. Kleinmamm & Co; Herman Salzwedel
Sumber / Hak cipta: National Gallery of Australia
Catatan:

Sabtu, 30 Mei 2020

Bogor di sekitar tahun 1915 (2)

Keramaian di pasar
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Lomba panjat pinang (di lapangan Sempur?)
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Perayaan Imlek (?)
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Perayaan Imlek (?)
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Waktu: antara 1905-1915
Tempat: Bogor
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan: Foto terakhir menampilkan banyak keragaman dalam berpakaian: Tionghoa dewasa dengan topi, bocah Tionghoa plontos, "Pak Haji" dengan busana yang sekarang disebut "gaya Betawi", serta warga Bogor lokal dengan ikat kepala dan beragam baju atau telanjang dada.

Jumat, 29 Mei 2020

Beberapa alat transportasi zaman dulu (2): Dari tandu ke mobil

Ketika jembatan besi untuk transportasi bermotor belum dibangun di Jawa, transportasi dari pesisir ke pegunungan dan sebaliknya masih banyak menggunakan perahu yang mengandalkan arus sungai dan keterampilan mendayung; sesuatu yang hampir punah saat ini
(klik untuk memperbesar | © NGA)
Kuda dan tandu sebagai alat transportasi di Jawa
(klik untuk memperbesar | © NGA)
Jawa, 1900-an: Medan terjal seperti ini hanya bisa dilalui oleh kuda, tandu, atau pejalan kaki. Foto kemungkinan diambil di sekitar hutan Lalijiwo (Prigen, Pasuruan).
(klik untuk memperbesar | © koleksi E. Becker / NGA)
Citarum di kawasan Priangan, 1901: Ketika jembatan besi belum ada, pemindahan barang berat antar dua tepi sungai besar dilakukan dengan perahu yang menyeberang dengan dipandu tali
(klik untuk memperbesar | © H. Kleinmann & Co / NGA)
Cemoro Lawang (Tengger), 1920: Seorang bangsawan Jawa berpose bersama mobilnya
(klik untuk memperbesar | © Studio Onnes Kurkdjian / NGA)
Waktu: awal abad ke-20, 1901, 1920
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: H. Kleinmann & Co; koleksi E. Becker; Studio Onnes Kurkdjian
Sumber / Hak cipta: National Gallery of Australia
Catatan: 1) Foto nomor 1 menampilkan pintu air Mlirip (Mojokerto) yang mengatur aliran Kali Brantas ke arah Surabaya. 2) Foto nomor 4 pernah dimuat di posting ini dengan ukuran yang lebih kecil.

Kamis, 28 Mei 2020

Bogor di sekitar tahun 1915 (1)

Depot es batu
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Hotel Bellevue di kawasan Empang
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Jembatan Merah
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Masyarakat dan aparat keamanan di pasar
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Waktu: antara 1905-1915
Tempat: Bogor
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Rabu, 27 Mei 2020

Dua rohaniwan Katolik di Balikpapan, 1919

(klik untuk memperbesar | © NGA)
Waktu: 18 Juni 1919
Tempat: Balikpapan
Tokoh:
Peristiwa: Dua rohaniwan Katolik di Balikpapan, menurut catatan foto salah satunya adalah uskup untuk wilayah Kalimantan.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: National Gallery of Australia
Catatan:

Selasa, 26 Mei 2020

Peringatan untuk tentara Belanda akan kemungkinan penyadapan surat dan telepon

Semasa perang kemerdekaan, pihak Belanda khawatir bahwa komunikasi telepon atau surat yang dibuat tentara Belanda bisa disadap pihak Indonesia. Poster-poster ini mengingatkan mereka untuk berhati-hati.

Awas! Informasi bisa merengut nyawa. Hancurkan catatanmu. Jangan menulis tentang aktifitas militer di suratmu.
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Hati-hati memilih kata. Informasi bisa merengut nyawa.
(klik untuk memperbesar | © AVS)

Waktu: semasa perang kemerdekaan
Tempat:
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Senin, 25 Mei 2020

Warisan Kartini: Sekolah Kartini (yang belum teridentifikasi lokasinya)

PENGANTAR

(klik untuk memperbesar)
Sejarah Hindia-Belanda menunjukkan bahwa tokoh yang menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia, bagi pihak Belanda saat itu tak lebih dari pemberontak, pembuat onar, penyulut kerusuhan, dsb. Sebaliknya, orang yang diberi tanda jasa oleh Belanda, bagi bangsa Indonesia merupakan pembantai, penjahat perang, kolaborator, dsb.

Raden Ayu Kartini merupakan satu dari sedikit pengecualian: Orang Belanda dan Indonesia sama-sama kagum dan menghargai apa yang beliau rintis untuk memajukan bangsa Indonesia, terutama kaum perempuannya. Bahkan kemudian warga Belanda bersama warga Indonesia bersama-sama meneruskan dan mengembangkan apa yang telah beliau mulai, yaitu dengan menghidupkan sarana pendidikan untuk anak-anak perempuan Indonesia.

Seri foto berikut ini akan menampilkan foto-foto Kartini dan keluarganya, dan diteruskan dengan munculnya sekolah-sekolah Kartini di berbagai pelosok

Murid-murid sebuah sekolah Kartini dalam pelajaran senam
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Sebuah sekolah Kartini yang tampaknya juga berfungsi sebagai perpustakaan umum
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Guru dan murid sebuah sekolah Kartini
(klik untuk memperbesar | © NMVW)

Waktu: ?
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Nationaal Museum van Wereldculturen
Catatan:

Minggu, 24 Mei 2020

Pasukan marinir Belanda memeriksa bubaran pekerja pelabuhan Surabaya

(klik untuk memperbesar | © AVS)
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Waktu: semasa perang kemerdekaan
Tempat: Surabaya
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: F. Rademaker
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Sabtu, 23 Mei 2020

Warisan Kartini: Sekolah Kartini di Madiun, Malang

PENGANTAR

(klik untuk memperbesar)
Sejarah Hindia-Belanda menunjukkan bahwa tokoh yang menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia, bagi pihak Belanda saat itu tak lebih dari pemberontak, pembuat onar, penyulut kerusuhan, dsb. Sebaliknya, orang yang diberi tanda jasa oleh Belanda, bagi bangsa Indonesia merupakan pembantai, penjahat perang, kolaborator, dsb.

Raden Ayu Kartini merupakan satu dari sedikit pengecualian: Orang Belanda dan Indonesia sama-sama kagum dan menghargai apa yang beliau rintis untuk memajukan bangsa Indonesia, terutama kaum perempuannya. Bahkan kemudian warga Belanda bersama warga Indonesia bersama-sama meneruskan dan mengembangkan apa yang telah beliau mulai, yaitu dengan menghidupkan sarana pendidikan untuk anak-anak perempuan Indonesia.

Seri foto berikut ini akan menampilkan foto-foto Kartini dan keluarganya, dan diteruskan dengan munculnya sekolah-sekolah Kartini di berbagai pelosok

12 Januari 1915: Peletakan batu pertama Sekolah Kartini di Madiun
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
12 Januari 1915: Peletakan batu pertama Sekolah Kartini di Madiun
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Sekitar 1930: Guru dan murid Sekolah Kartini di Malang
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
1937: Para murid Sekolah Kartini Malang berbaris di acara Pesta Oranye
(klik untuk memperbesar | © NMVW)

Waktu: 1915, 1930, 1937
Tempat: Madiun, Malang
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Nationaal Museum van Wereldculturen
Catatan:

Jumat, 22 Mei 2020

Kejutan budaya untuk tentara Belanda di Indonesia (2)

PENGANTAR

Ketika Belanda mengirim bala tentaranya ke Indonesia di tahun 1945-1949, tidak sedikit di antara mereka yang baru pertama kali datang ke Indonesia. Kejutan budaya pun tak terhindarkan, seperti yang direkam oleh beberapa gambar di bawah ini. Gambar-gambar ini menangkap sudut pandang Belanda atas sisi kocak dari perang di Indonesia.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Tidak ada es krim di Indonesia? Bukan masalah, ada es lilin. Kalau si tukang lewat, siap dikerumuni, diborong, dan diteriaki disuruh tunggu oleh yang telat datang.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Ini masalah klasik buat orang Eropa di rumah makan Tionghoa. Mencoba makan mie pakai cara orang bule. Jadi bahan tertawaan.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Buat orang Eropa yang terbiasa dengan harga pas, ini menjadi keterampilan yang baru: menawar.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Dari wajah-wajah tentara Belanda ini terlihat banget bahwa sate kambing itu enak.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Kalau soal ular dan pawang, tidak salah lagi: wajah-wajah tentara ini memang bego.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Ucapan selamat Natal tidak diisi oleh gambar Sinterklas naik kereta terbang, tapi kusir mengendalikan delman.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Adanya radio bisa mengobati sedikit rindu keluarga di saat Natal.

Waktu: semasa perang kemerdekaan
Tempat: Bandung dan sekitarnya
Tokoh:
Peristiwa:
Penggambar: S. van Basel (kecuali yang terakhir)
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Kamis, 21 Mei 2020

Warisan Kartini: Sekolah Kartini di Bandung, Semarang, Tulungagung

PENGANTAR

(klik untuk memperbesar)
Sejarah Hindia-Belanda menunjukkan bahwa tokoh yang menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia, bagi pihak Belanda saat itu tak lebih dari pemberontak, pembuat onar, penyulut kerusuhan, dsb. Sebaliknya, orang yang diberi tanda jasa oleh Belanda, bagi bangsa Indonesia merupakan pembantai, penjahat perang, kolaborator, dsb.

Raden Ayu Kartini merupakan satu dari sedikit pengecualian: Orang Belanda dan Indonesia sama-sama kagum dan menghargai apa yang beliau rintis untuk memajukan bangsa Indonesia, terutama kaum perempuannya. Bahkan kemudian warga Belanda bersama warga Indonesia bersama-sama meneruskan dan mengembangkan apa yang telah beliau mulai, yaitu dengan menghidupkan sarana pendidikan untuk anak-anak perempuan Indonesia.

Seri foto berikut ini akan menampilkan foto-foto Kartini dan keluarganya, dan diteruskan dengan munculnya sekolah-sekolah Kartini di berbagai pelosok

Sekitar 1930-an: Seorang biarawati membagikan buku di Sekolah Kartini di Bandung
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Sekitar 1930-an: Beberapa murid Sekolah Kartini di Bandung bersama seorang biarawati
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Tanpa catatan tahun: Para guru di Sekolah Kartini di Semarang
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Antara 1937-1939: Sekolah Kartini di Tulungagung
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Waktu: 1930-an
Tempat: Bandung, Semarang, Tulungagung
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Nationaal Museum van Wereldculturen
Catatan:

Rabu, 20 Mei 2020

Kejutan budaya untuk tentara Belanda di Indonesia (1)

PENGANTAR

Ketika Belanda mengirim bala tentaranya ke Indonesia di tahun 1945-1949, tidak sedikit di antara mereka yang baru pertama kali datang ke Indonesia. Kejutan budaya pun tak terhindarkan, seperti yang direkam oleh beberapa gambar di bawah ini. Gambar-gambar ini menangkap sudut pandang Belanda atas sisi kocak dari perang di Indonesia.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Musuh Belanda selain TNI adalah nyamuk. Sulit dikalahkan meskipun Belanda sudah mengerahkan bermacam senjata seperti semprotan dan sapu lidi.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Selamat datang di negeri yang ukurannya serba lebih kecil. Awas ... kalau naik becak, naik delman bakal kejeduk. Jadi hiburan buat kuda.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Dulu sebelum lelaki Indonesia datang ke Belanda untuk melihat wanita bule berpakaian minim, yang terjadi adalah sebaliknya: lelaki Belanda datang ke Indonesia untuk melihat aurat perempuan Nusantara. Kalau dia tentara, dia punya dalih: "tugas pengintaian".
 
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Akhirnya tentara Belanda menyimpulkan bahwa memelihara monyet jauh lebih ampuh dalam menghadapi kutu rambut daripada DDT.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Tentara Belanda mendapati bahwa dengan menyuruh bocah Indonesia mereka bisa hidup laksana seorang sultan.
(klik untuk memperbesar | © AVS)
Pasukan Belanda masih harus belajar bahwa memukul kentongan itu membangunkan seiisi kampung.

(klik untuk memperbesar | © AVS)
Tentara Belanda harus membiasakan diri merayakan Natal dan Tahun Baru dengan makan sate, bukan minum anggur.

Waktu: semasa perang kemerdekaan
Tempat:
Tokoh:
Peristiwa:
Penggambar: S. van Basel (#1-2), Johnny Rider (#3-6)
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Selasa, 19 Mei 2020

Warisan Kartini: Sekolah Kartini di Bogor (2)

PENGANTAR

(klik untuk memperbesar)
Sejarah Hindia-Belanda menunjukkan bahwa tokoh yang menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia, bagi pihak Belanda saat itu tak lebih dari pemberontak, pembuat onar, penyulut kerusuhan, dsb. Sebaliknya, orang yang diberi tanda jasa oleh Belanda, bagi bangsa Indonesia merupakan pembantai, penjahat perang, kolaborator, dsb.

Raden Ayu Kartini merupakan satu dari sedikit pengecualian: Orang Belanda dan Indonesia sama-sama kagum dan menghargai apa yang beliau rintis untuk memajukan bangsa Indonesia, terutama kaum perempuannya. Bahkan kemudian warga Belanda bersama warga Indonesia bersama-sama meneruskan dan mengembangkan apa yang telah beliau mulai, yaitu dengan menghidupkan sarana pendidikan untuk anak-anak perempuan Indonesia.

Seri foto berikut ini akan menampilkan foto-foto Kartini dan keluarganya, dan diteruskan dengan munculnya sekolah-sekolah Kartini di berbagai pelosok

Murid-murid kelas 1
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Murid-murid kelas 2
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Murid-murid kelas 3
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Murid-murid kelas 4
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Murid-murid kelas 5
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Murid-murid kelas 6
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Guru Belanda dan beberapa murid kelas tinggi
(klik untuk memperbesar | © NMVW)
Beberapa murid bermain di halaman
(klik untuk memperbesar | © NMVW)

Waktu: 1920-an
Tempat: Bogor
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Nationaal Museum van Wereldculturen
Catatan: