Sabtu, 31 Oktober 2020

Karikatur kritis di "De Amsterdaamer" tentang konflik bersenjata di Aceh dan Lombok, 1892-1895

(klik untuk memperbesar | AVS)

21 Februari 1892: Karikatur ini menggambarkan dua jenderal KNIL yang terlibat Perang Aceh, yaitu Karel van der Heyden dan Gustave Verspyck, dengan latar belakang konflik bersenjata di Aceh dengan beberapa korban. Van der Heyden mengucapkan selamat kepada Verspyck yang berulang tahun ke-70: "Selamat, kamerad! Seandainya saja kita bisa memperbaiki kembali apa yang terjadi di sana …"

(klik untuk memperbesar | AVS)

30 September 1894: Karikatur ini berjudul "Petualangan senapan infantri Belanda" yang menggambarkan bagaimana senjata Belanda setelah melewati beberapa tangan, termasuk Inggris yang dilambangkan dengan John Bull, akhirnya bisa berakhir di tangan warga Tionghoa dan warga Aceh, yang kemudian digunakan untuk melawan balik tentara Belanda dalam Perang Aceh.

(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

14 Juli 1895
: Karikatur ini menggambarkan Mayor Jenderal Jacobus Vetter (Panglima KNIL) yang berbisik kepada Jacob Bergsma (Menteri Urusan Koloni) dengan latar belakang Gusti Gede Jelantik (penguasa Karangasem yang ditempatkan Belanda di Lombok). Isi bisikan adalah: "Tidak ada lagi pita tersisa untuk Gusti Jelantik? Dia membantu kita dengan menindas kan?"

Waktu: 1892, 1894, 1895
Tempat: karikatur di atas mengacu ke perang di Aceh dan Lombok
Tokoh:
Peristiwa:
Juru foto/gambar: Johan Braakensiek
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk / Universiteit Leiden
Catatan: Karya lain dari Johann Braakensiek tentang Perang Aceh bisa dilihat di posting ini.

Jumat, 30 Oktober 2020

Jakarta tempo doeloe: Jembatan angkat selain Kota Intan

Jembatan Kota Intan telah menjadi salah satu ikon peninggalan bersejarah di Jakarta. Sejatinya, Jakarta pernah memiliki jembatan angkat lain, seperti di kawasan Pasar Ikan, dan salah satu lainnya yang belum teridentifikasi di bawah ini. Dari semua itu, yang tersisa tampaknya hanya jembatan Kota Intan.

Antara 1857 dan 1908: Jembatan angkat di Pasar Ikan, dalam posisi diturunkan
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Sekitar tahun 1865: Jembatan angkat di Pasar Ikan, dalam posisi diangkat
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Kawasan Pasar Ikan di sekitar tahun 1870
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Jembatan angkat yang memiliki banyak nama: Jembatan Rusman, Jembatan Berak, Scheidbrug (Jembatan Perpisahan) yang tampaknya diplesetkan menjadi Schijtsburg (yang memang berarti Jembatan Berak)
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Waktu: 1865, 1870, 1908
Tempat: Jakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: National Gallery of Australia / Universiteit Leiden
Catatan:

Kamis, 29 Oktober 2020

Kutaraja dalam kekuasaan Belanda menurut sketsa berbahasa Jerman, 1874

Media Jerman Allgemeine Illustrierte Zeitung, menampilkan beberapa sketsa dengan judul Ueber Land und Meer (Tentang Negeri dan Lautan). Salah satu halamannya diberi judul Bilder aus Atjeh (Gambar dari Aceh) yang ditampilkan di bawah ini.

(klik untuk memperbesar | AVS)

Judul sketsa, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan:

  1. Pintu masuk ke kawasan keraton dengan lubang yang dibuat Belanda.
  2. Pohon besar di dalam kawasan keraton.
  3. Genta raksasa menggantung di sebuah pohon di keraton.
  4. Tiga makam sultan di satu monumen.
  5. Gudang peluru di keraton.
  6. Meriam-meriam dari keraton diangkut untuk dikapalkan ke Eropa.
  7. Mesjid di pinggir sungai.
Waktu: 1874
Tempat: sketsa-sketsa menampilkan Kutaraja, Aceh
Tokoh:
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Rabu, 28 Oktober 2020

Jakarta tempo doeloe: Rumah ibadah cikal bakal Gereja Katedral dan GPIB Immanuel

Antara 1900 dan 1913: De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming, kelak dijuluki Gereja Katedral
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Willemskerk, kelak GPIB Immanuel
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Bubaran jemaah Willemskerk, dengan antrian kereta tunggangan dan para kusirnya
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Waktu: antara 1900 dan 1913 (foto atas)
Tempat: Jakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: National Gallery of Australia
Catatan:

Selasa, 27 Oktober 2020

Patung Jenderal Van Heutsz di kota kelahirannya Coevorden, Belanda, 1933

Catatan atau keterangan asli pada foto-foto dari arsip Belanda, yang a.l. dimuat di posting ini, tidak jarang menjuluki para pejuang kemerdekaan dengan istilah "ekstremis", "subversif", "bandit", bahkan "teroris". Pahlawan bagi satu pihak, memang bisa jadi penjahat bagi pihak lain; dan sebaliknya. Demikian juga halnya dengan Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz: Bagi Belanda dia adalah pahlawan yang memenangkan perang alot melawan rakyat Aceh; sementara sejarah Indonesia mengenangnya sebagai pembantai rakyat Aceh.

Di tahun 1933, sembilan tahun setelah Van Heutsz meninggal, Pangeran Hendrik (suami Ratu Wilhelmina) meresmikan berdirinya patung Van Heutsz di Coevorden, tempat kelahiran jenderal ini. Foto di bawah memperlihatkan patung ini di tahun peresmiannya. Di tahun 2009, atau 76 tahun kemudian, Coevorden diam-diam membongkar patung ini dan memindahkannya. Tampaknya waktu juga bisa mengubah pandangan orang tentang apakah seseorang itu bisa menjadi kebanggaan atau tidak.

(klik untuk memperbesar | AVS)

(klik untuk memperbesar | AVS)

Waktu: 1933
Tempat: Coevorden, Belanda
Tokoh: Joannes Benedictus van Heutsz (Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda)
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Senin, 26 Oktober 2020

Minggu, 25 Oktober 2020

Foto para politisi Indonesia dari koleksi Anefo 1946-1948: Tokoh-tokoh lain

Urip Kartodirdjo (Jaksa Agung)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Witjaksono Wirjodihardjo (Walikota Bogor)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Hamengkubuwono IX (Sultan Yogyakarta)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Waktu: 1948 atau sebelumnya
Tempat: ?
Tokoh: Urip Kartodirdjo, Witjaksono Wirjodihardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan: Foto Hamengkubuwono IX di atas pernah dimuat dalam posting ini dalam ukuran yang lebih kecil.

Sabtu, 24 Oktober 2020

Soekarno bertemu Laksamana Tadashi Maeda dan pejabat sipil dan militer Jepang lain di Makassar, 1945

(klik untuk memperbesar | © Nishijima)

Dari kiri ke kanan:

  • Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi
  • Kenichi Hayashi (perwira intelejen)
  • Laksamana Muda Tadashi Maeda
  • Ichiki (pejabat administrasi sipil)
  • Kapten Masuzo Yanagihara (pejabat urusan politik)
  • Mitsuhashi (gubernur wilayah laut)
  • Shigetada Nishijima
  • Soekarno
  • Sumanaig (? pejabat administrasi militer)
  • Tajuddin Nur
  • Tomegoro Yoshizumi
  • Ahmad Subardjo

Waktu: 30 April 1945
Tempat: Makassar
Tokoh: l.d.a.
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Nishijima
Catatan:

Jumat, 23 Oktober 2020

Foto para politisi Indonesia dari koleksi Anefo 1946-1948: Beberapa menteri

Johannes Leimena (Menteri Kesehatan)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Supomo (Menteri Kehakiman)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Herling Laoh (Menteri Muda Pekerjaan Umum)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Darma Setiawan (Menteri Kesehatan)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)


Waktu: 1948 atau sebelumnya
Tempat: ?
Tokoh: Johannes Leimena, Supomo, Herling Laoh, Darma Setiawan
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan: Foto Darma Setiawan pernah dimuat di posting ini dalam ukuran yang lebih kecil.

Kamis, 22 Oktober 2020

Adam Malik bersama Teruo Nakamura, prajurit Jepang terakhir yang keluar dari hutan, 1975

Blog ini sudah menampilkan beberapa contoh kasus di mana tentara Jepang, walaupun pemerintahnya secara resmi sudah menyerah kepada Sekutu, menolak menyerahkan diri dan malah bergabung dengan para pejuang kemerdekaan untuk memerangi pasukan Belanda.

Sebagian lain, di beberapa wilayah, masuk ke hutan pedalaman dan putus kontak dengan dunia luar; hingga bertahun-tahun dan terlupakan orang. Masyarakat Jepang mengira mereka sudah hilang tak bisa ditemukan, sementara para prajurit yang bersembunyi ini menyangka perang masih berlangsung.

Tahun 1972, Jepang dibuat heboh dengan ditemukannya Shoichi Yokoi di pedalaman Guam, 28 tahun setelah tentara ini bersembunyi di hutan. Dua tahun kemudian, di bulan Maret 1974, Jepang dihebohkan lagi dengan ditemukannya Hiroo Onoda di pedalaman pulau Lubang, Filipina.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya di Desember 1974, Indonesia berhasil menemukan dan membujuk Teruo Nakamura agar keluar dari pedalaman Morotai, Maluku Utara. Sekitar 30 tahun prajurit Jepang ini berada di hutan, dan menjadi tentara Jepang terlama yang berkelana di hutan setelah Perang Dunia II usai.

1 Januari 1975: Menlu Adam Malik menyalami Teruo Nakamura di Jakarta
(klik untuk memperbesar | © Asahi Shimbun via Getty Images)

8 Januari 1975: Teruo Nakamura berbicara dengan media di Jakarta
(klik untuk memperbesar | © Asahi Shimbun via Getty Images)

Kisah ini ternyata masih ada buntutnya. Teruo Nakamura sejatinya bukan orang Jepang, tetapi seperti halnya Tan Tik An dan Tan Tjian Loe berasal dari Taiwan. Karenanya dia minta dipulangkan ke Taiwan, bukan ke Jepang. Di Taiwan sendiri, Teruo Nakamura, yang lahir ketika Taiwan dikuasai Jepang, dianggap sebagai pendukung penjajahan Jepang, dan pihak Taiwan malah memberinya nama Tionghoa Lee Kuang-hui.

Masih belum selesai: Teruo Nakamura tetapi bukan pula orang Tionghoa, dia berasal dari suku Amis, yang merupakan penduduk asli Taiwan. Secara etnolinguistika, warga Amis ini merupakan bagian dari rumpun Austronesia; atau dengan kata lain malah lebih dekat kekerabatannya dengan warga Nusantara.

Waktu: Januari 1975
Tempat: Jakarta
Tokoh: Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI), Teruo Nakamur (tentara Jepang)
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Asahi Shimbun via Getty Images
Catatan:

Rabu, 21 Oktober 2020

Foto para politisi Indonesia dari koleksi Anefo 1946-1948: Sebagian tokoh Republik Indonesia Serikat

Tengku Dzulkarnain (petinggi Negara Sumatera Timur)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Jumhana Wiriaatmaja (Perdana Menteri Negara Pasundan)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Anak Agung Gde Agung (Perdana Menteri Negara Indonesia Timur)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Tengku Mansyur (Wali Negara Sumatera Timur)
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)


Waktu: 1948 atau sebelumnya
Tempat: ?
Tokoh: Tengku Dzulkarnain, Jumhana Wiriaatmaja, Anak Agung Gde Agung, Tengku Mansyur
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan: (1) Anak Agung dan Jumhana kemudian menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia dan aktif sebagai diplomat di luar negeri; (2) Foto Tengku Dzulkarnain dan Tengku Mansyur pernah dimuat di posting ini dalam ukuran yang lebih kecil.

Selasa, 20 Oktober 2020

A.H. Nasution dan D.N. Aidit dalam jepretan Aleksey Yurievich Drugov di depan Kedubes Uni Sovyet, 1964

(klik untuk memperbesar | © Aleksey Yurievich Drugov)

Meski sama-sama komunis, RRT (negara dengan partai komunis terbesar di dunia) berselisih dengan Uni Sovyet (negara dengan partai komunis terbesar kedua di dunia). Keduanya saling berebut pengaruh, termasuk di Indonesia (negara dengan partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu). Nasution dan Aidit tampak berada di area Kedutaan Besar Uni Sovyet di Jakarta, yang kemungkinan merupakan bagian dari usaha Uni Sovyet dalam melobby jajaran petinggi sipil dan militer Indonesia. 

Foto ini diambil oleh Aleksey Yurievich Drugov, yang saat itu berumur 27 tahun dan merupakan seorang staf penerjemah di kedutaan. Kelak, Drugov menjadi guru besar dalam hal keindonesiaan di Rusia.

Waktu: 1964
Tempat: Jakarta
Tokoh:  Abdul Haris Nasution (Menteri Pertahanan dan Keamanan), Dipa Nusantara Aidit (pucuk pimpinan PKI)
Peristiwa:
Fotografer: Aleksey Yurievich Drugov
Sumber / Hak cipta: Aleksey Yurievich Drugov
Catatan:

Senin, 19 Oktober 2020

Foto para politisi Indonesia dari koleksi Anefo 1946-1948: Yang sedang atau kelak akan menjabat perdana menteri atau wakilnya

Mohammad Roem
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Sutan Sjahrir
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Muhammad Natsir
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Djuanda Kartawidjaja
(klik untuk memperbesar | Anefo / AVS)

Waktu: 1948 atau sebelumnya
Tempat: ?
Tokoh (jabatan pada saat difoto): Mohammad Roem (Menteri Dalam Negeri), Sutan Sjahrir (Perdana Menteri), Muhammad Natsir (Menteri Penerangan), Djuanda Kartawidjaja (Menteri Perhubungan)
Peristiwa:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Minggu, 18 Oktober 2020

Pasukan Sekutu di Morotai, 1944/1945

September 1944: Pendaratan pasukan Sekutu di Morotai
(klik untuk memperbesar | © Everett Collection / imago images)

Pada tanggal 15 September 1944 Sekutu mendaratkan sekitar 57.000 pasukan di Morotai yang saat itu dipertahankan oleh sekitar 500 tentara Jepang. Morotai dengan landasan pacunya merupakan posisi strategis bagi Sekutu untuk melancarkan serangan ke arah Filipina. Setelah tiga minggu pertempuran, yang menewaskan sekitar 300 tentara Jepang dan 30 pasukan Sekutu, Morotai dikuasai oleh Sekutu.

Maret 1945: Lapangan terbang militer di Morotai
(klik untuk memperbesar | © Australian War Memorial)

Setelah merebut Morotai, Sekutu dalam waktu hanya dua bulan membangun landasan pacu untuk pesawat tempur mereka, dan menjadikan Morotai sebagai basis untuk perebutan wilayah lainnya yang masih dikuasai Jepang.

Waktu: 1944, 1945
Tempat: Morotai (Maluku Utara)
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Everett Collection / imago images | Australian War Memorial
Catatan:

Sabtu, 17 Oktober 2020

Karikatur Belanda tentang Papua: Faktor Tunku Abdul Rahman

Vrij Nederland, 22 Oktober 1960: "Ik vond het niet nodig vooraf met de Nederl. Regering te praten"
(klik untuk memperbesar | © Leo Jordaan / AVS)

Vrij Nederland, 3 Desember 1960:
Soepele diplomatie: "Geen verwikken aan … welterusten!"
(klik untuk memperbesar | © Leo Jordaan / AVS)

Kedua karikatur ini menunjukkan bagaimana Belanda merasa bahwa Federasi Malaya (kelak menjadi Malaysia), yang diwakili oleh Perdana Menterinya, Tunku Abdul Rahman, memiliki kepentingan tersendiri dalam hal Papua (yang tidak dijabarkan lebih lanjut).
Karikatur pertama memperlihatkan bagaimana Rahman berkata kepada A.H. Nasution dalam hal Papua, di belakang Joseph Luns, bahwa "Saya tidak merasa perlu untuk berbicara dengan pemerintah Belanda sebelumnya."
Di karikatur kedua tampak Rahman tidak melanjutkan kegiatan menyetrika baju (di atas badan Subandrio), dan melepas sepatu serta memakai baju tidur, membawa lilin ke kamar, dan berkata "Selamat malam." Potongan koran di pojok kanan atas menyebutkan bahwa Subandrio sebelumnya berkata bahwa satu-satunya penyelesaian masalah Papua adalah dengan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secepatnya. Tunku Abdul Rahman mengomentari pernyataan ini dengan berkata: "Jika ini adalah posisi resmi pemerintah Indonesia, maka langkah saya berikutnya adalah pergi tidur dulu."

Waktu: 1960
Tempat:
Tokoh:
Peristiwa:
Juru foto/gambar: Leo Jordaan
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Jumat, 16 Oktober 2020

Grebeg Maulud di tahun Jawa 1814 (1884 M) dalam jepretan Kassian Cephas (4)

Prajurit Langenastra
(klik untuk memperbesar)

Gunungan jaler (pria)
(klik untuk memperbesar)

Gunungan estri (wanita)
(klik untuk memperbesar)

Pralata
(klik untuk memperbesar)

Gamelan Monggang
(klik untuk memperbesar)

Gunungan kutug
(klik untuk memperbesar)

Bonus: Sampul buku
(klik untuk memperbesar)

Waktu: Mulud 1814 (Desember 1884 M)
Tempat: Yogyakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Kassian Cephas
Sumber / Hak cipta: Isaac Groeneman / Martinus Nijhoff
Catatan: Dari buku De Garĕbĕg's the Ngajogyåkartå karya Isaac Groeneman yang terbit tahun 1895

Kamis, 15 Oktober 2020

Karikatur Belanda tentang Papua: Belanda gagal melobby Amerika

Het Parool, 4 April 1961: Zonder Commentaar
(Tanpa komentar)
(klik untuk memperbesar | © Leo Jordan / AVS)

Vrij Nederland, 15 April 1961: Bij het Concertgebouworkest liet de president verstek gaan …
… Hij gaf de voorkeur aan een solo-recital

(Sang Presiden terlihat melamun di gedung konser … dia –si pemusik?– lebih suka bermain solo)
(klik untuk memperbesar | © Leo Jordan / AVS)


Salah satu hal yang dirasakan Belanda dalam konflik dengan Indonesia mengenai Papua adalah bahwa Amerika Serikat tidak berada di pihak mereka. Karikatur pertama memperlihatkan bagaimana Menlu Belanda Joseph Luns, berusaha menarik Presiden AS John F. Kennedy untuk berbicara mengenai "Dewan Papua" tetapi tidak ditanggapi.

Karikatur kedua memperlihatkan akhirnya Kennedy mau masuk ke gedung pertunjukan, tetapi tampak duduk kebosanan dan tanpa perhatian atas apa yang dipertunjukkan oleh Luns. Satu catatan untuk karikatur ini: Notasi musik di depan cello secara cerdik menampilkan "N. GUINEA".

Waktu: 1961
Tempat:
Tokoh:
Peristiwa:
Juru foto/gambar: Leo Jordan
Sumber / Hak cipta: Atlas Van Stolk
Catatan:

Rabu, 14 Oktober 2020

Grebeg Maulud di tahun Jawa 1814 (1884 M) dalam jepretan Kassian Cephas (3)

Prajurit Nyutra
(klik untuk memperbesar)

Prajurit Kawandasa
(klik untuk memperbesar)

Prajurit Jagakarya
(klik untuk memperbesar)

Prajurit Prawira Tama
(klik untuk memperbesar)

Prajurit Ketanggung
(klik untuk memperbesar)

Prajurit Mantri Jero
(klik untuk memperbesar)

Bonus: Denah Keraton Yogyakarta
(klik untuk memperbesar)

Waktu: Mulud 1814 (Desember 1884 M)
Tempat: Yogyakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Kassian Cephas
Sumber / Hak cipta: Isaac Groeneman / Martinus Nijhoff
Catatan: Dari buku De Garĕbĕg's the Ngajogyåkartå karya Isaac Groeneman yang terbit tahun 1895