Sebelum warga Nusantara belum mengenal konstruksi beton atau baja, bambu adalah bahan yang digunakan untuk membuat jembatan. Bambu relatif mudah didapat, tersedia dalam berbagai ukuran panjang, mudah dipotong sesuai kebutuhan, dan cukup elastis dalam menahan beban.
Kelemahan bambu tetapi adalah daya topangnya yang terbatas. Di sini, warga Nusantara mencoba menyiasatinya dengan berbagai kreasi struktur, yang akan kita lihat di beberapa foto berikut ini.
Ketika beban yang harus diseberangkan makin besar dan rumit, serta rentang jembatan makin panjang, akhirnya bambu menemui limit kemampuannya, dan harus menyerahkan fungsi jembatan kepada beton dan baja hingga sekarang ini.
Langkah berikutnya dalam menambah kenyamanan bagi pengguna jembatan adalah dengan memberikannya atap. Ini akan sangat terasa manfaatnya di saat hujan. Malah, pada saat hujan jembatan bisa menjadi tempat berteduh bagi orang di sekitarnya.
Menariknya, fungsi jembatan sebagai peneduh di saat hujan kembali muncul di masa kini terutama di kota-kota besar. Ketika hujan, kolong jembatan akan penuh oleh pemotor yang mencari perlindungan. Bedanya, kalau dulu orang berteduh di atas pijakan jembatan, sekarang di bawahnya.
Sindanglaya, Cianjur 1902 (klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden) |
Sukabumi 1910 (klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden) |
Sukabumi 1920 (klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden) |
Lembah Sungai Serayu, Jawa Tengah 1935 (klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden) |
Lembah Sungai Serayu, Jawa Tengah 1935 (klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden) |
Waktu: 1902, 1910, 1920, 1935
Tempat: Sindanglaya (Cianjur), Sukabumi, Jawa Tengah
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar