Kamis, 20 November 2025

Pertempuran laut antara Belanda dan Portugis dalam memperebutkan Banten, 1601 (2)

Di penghujung tahun 1601 Belanda mencatat tonggak penting dalam sejarah penjajahannya. Satuan kapal perang Belanda yang hanya terdiri dari 5 kapal utama, berhasil mengalahkan armada Portugis yang terdiri dari 30 kapal. Inilah momentum yang membuat Belanda mulai menggeser posisi Portugis, yang sampai saat itu masih mendominasi perairan Nusantara, hingga akhirnya menjadi penjajah yang hampir tunggal di kawasan Nusantara.

Lukisan di bawah merupakan salah satu usaha Belanda mengilustrasikan peristiwa ini. Versi berwarna dari gambar ini pernah dimuat di posting ini sebelumnya. 

(klik untuk memperbesar | @ Indies Gallery)

Tahun terbit: 1644 (tentang peristiwa di 1601)
Tempat terbit: Amsterdam
Tokoh:
Deskripsi:
Juru foto/gambar:
Sumber / Hak cipta: Indies Gallery
Catatan:

Rabu, 19 November 2025

Propaganda semasa Perang Kemerdekaan yang menjelekkan Republik Indonesia dan memperindah Belanda (7)

Orang bilang, ketika dua kubu berkonflik maka pihak pertama yang menjadi korban adalah sang kebenaran. Kedua kubu akan berusaha mencari dukungan, baik dari dalam maupun dari luar, agar posisi dia semakin kuat dalam perseteruan. Usaha ini tidak jarang dilakukan dengan peluncuran propaganda yang tentunya membagus-baguskan diri sendiri, dan memburuk-burukkan pihak lain. Tidak jarang pula bahan propaganda ini tidak selaras dengan fakta dan kebenaran. Dan ini terjadi dari dulu hingga sekarang.

Rangkaian foto berikut akan menampilkan hal seperti ini. Semasa Perang Kemerdekaan dulu rupanya ada kalangan yang memunculkan foto-foto sebagai pembuktian bahwa Republik Indonesia itu menyengsarakan dan/atau masyarakat di Nusantara suka dengan pemerintahan Kerajaan Belanda. Kita akan coba untuk meneliti apa yang sebenarnya ditampilkan oleh foto-foto ini.


(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)
  • Bahasan di awal: Di tahun 1940-an, bahkan hingga ke masa tidak terlalu lama sebelum sekarang, masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan dan tempat terpencil, tidak sering menikmati hiburan. Tidak ada radio, bioskop, televisi, apalagi telepon genggam dan internet. Ketika ada rombongan orang kulit putih melintas dengan kendaraan militer, bagi banyak masyarakat itu adalah semacam tontonan yang harus dilihat meskipun harus berjalan kaki jauh ke untuk sampai ke tepi jalan. Karena pada dasarnya mereka murah senyum, rombongan ini disambut meriah pula; apalagi jika rombongan ini membagi-bagikan makanan atau barang yang belum pernah mereka lihat. Momen seperti ini banyak diabadikan juru foto Belanda; dan ada pihak yang menambahkan narasi bahwa masyarakat Indonesia menyambut meriah dan gembira kedatangan pihak Belanda, seolah-olah ini sama dengan gembiranya orang Eropa mengelu-elukan kedatangan pasukan Amerika yang mengusir tentara Nazi Jerman dari tempat mereka.
  • Teks asli penyerta foto:wanneer het Rode Kruis team naar elders vertrekt wordt het steeds door de bevolking nagewuifd.. Bali 1946.
  • Terjemahan:Setiap kali tim Palang Merah [Belanda] berangkat ke lokasi lain, penduduk setempat selalu melambaikan tangan. Bali, 1946.
  • Catatan: 
Waktu: 1946
Tempat: Bali
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Beeldbank WO2 (Tweede Wereldoorlog) / NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie)
Catatan:

Selasa, 18 November 2025

Lukisan Belanda tentang Geger Pacinan, konflik bersenjata antara VOC dan warga Tionghoa Batavia, 1740 (2)

Selama hampir dua pekan, tepatnya dari tanggal 9 hingga 22 Oktober 1740, terjadi konflik bersenjata antara VOC dengan warga Tionghoa di Batavia. Diperkirakan pergolakan ini memakan korban sekitar 500 serdadu VOC anak-anak, dan orang jompo.

Dahulu, orang Belanda menyebut kejadian ini sebagai "schrikkelijke slagting der Chinezen, na de ontdekking van hun verraad" (pertempuran mengerikan orang Tionghoa setelah pengkhianatan mereka terbongkar), dan orang Jerman memberi istilah "Rebellion der Chinesen" (pemberontakan orang Tionghoa) yang senada dengan istilah Belanda "Opstand der Chinezen te Batavia", yang memberi konotasi pelaku atas warga Tionghoa. Sekarang orang lebih memilih istilah "Chinezenmoord" (pembunuhan atas warga Tionghoa) atau "Batavia Massacre" (pembantaian Batavia) yang memberi konotasi korban kepada warga Tionghoa. Sejarawan Indonesia menggunakan istilah "Geger Pacinan" yang lebih tidak memihak.

Berikut ini adalah lukisan yang pernah dimuat di posting ini sebelumnya; kali ini dalam ukuran yang dua kali lebih besar, dan tampaknya berasal dari edisi lain. Edisi ini hanya berisi keterangan dua baris di bawah gambar, tidak sebanyak yang sebelumnya. Gambarnya tetapi tetap sama, yaitu a.l. memperlihatkan bagaimana meriam VOC menembaki perkampungan warga Tionghoa (yang atap rumahnya memiliki bulan sabit) sementara api sudah membara di wilayah pecinan ini. Adegan yang mengerikan tentunya bagian di mana VOC mengepung dan membantai warga Tionghoa, atau menggiringnya ke sungai untuk kemudian ditenggelamkan.

(klik untuk memperbesar | @ Indies Gallery)

Tahun terbit: sekitar 1740
Tempat terbit: Belanda 
Tokoh:
Deskripsi:
Juru foto/gambar: Adolf van der Laan 
Sumber / Hak cipta: Indies Gallery
Catatan:

Senin, 17 November 2025

Propaganda semasa Perang Kemerdekaan yang menjelekkan Republik Indonesia dan memperindah Belanda (6)

Orang bilang, ketika dua kubu berkonflik maka pihak pertama yang menjadi korban adalah sang kebenaran. Kedua kubu akan berusaha mencari dukungan, baik dari dalam maupun dari luar, agar posisi dia semakin kuat dalam perseteruan. Usaha ini tidak jarang dilakukan dengan peluncuran propaganda yang tentunya membagus-baguskan diri sendiri, dan memburuk-burukkan pihak lain. Tidak jarang pula bahan propaganda ini tidak selaras dengan fakta dan kebenaran. Dan ini terjadi dari dulu hingga sekarang.

Rangkaian foto berikut akan menampilkan hal seperti ini. Semasa Perang Kemerdekaan dulu rupanya ada kalangan yang memunculkan foto-foto sebagai pembuktian bahwa Republik Indonesia itu menyengsarakan dan/atau masyarakat di Nusantara suka dengan pemerintahan Kerajaan Belanda. Kita akan coba untuk meneliti apa yang sebenarnya ditampilkan oleh foto-foto ini.


(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)
  • Bahasan di awal: Di tahun 1940-an, bahkan hingga ke masa tidak terlalu lama sebelum sekarang, masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan dan tempat terpencil, tidak sering menikmati hiburan. Tidak ada radio, bioskop, televisi, apalagi telepon genggam dan internet. Ketika ada rombongan orang kulit putih melintas dengan kendaraan militer, bagi banyak masyarakat itu adalah semacam tontonan yang harus dilihat meskipun harus berjalan kaki jauh ke untuk sampai ke tepi jalan. Karena pada dasarnya mereka murah senyum, rombongan ini disambut meriah pula; apalagi jika rombongan ini membagi-bagikan makanan atau barang yang belum pernah mereka lihat. Momen seperti ini banyak diabadikan juru foto Belanda; dan ada pihak yang menambahkan narasi bahwa masyarakat Indonesia menyambut meriah dan gembira kedatangan pihak Belanda, seolah-olah ini sama dengan gembiranya orang Eropa mengelu-elukan kedatangan pasukan Amerika yang mengusir tentara Nazi Jerman dari tempat mereka.
  • Teks asli penyerta foto:Nederlandse militaire colonne begroet door plaatselijke bevolking, Java.
  • Terjemahan: Konvoi militer Belanda disambut penduduk setempat, Jawa.
  • Catatan: Lihat juga posting sebelum ini.
Waktu: 1947
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Beeldbank WO2 (Tweede Wereldoorlog) / NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie)
Catatan:

Minggu, 16 November 2025

Peta kuno dari tahun 1750: Jakarta ketika masih dikelilingi pesawahan dan kebun (3)

(klik untuk memperbesar | @ Indies Gallery)


Tahun terbit: 1750
Tempat terbit: Paris
Tokoh:
Deskripsi: Peta ini merupakan versi yang tidak diwarnai dari dokumen yang pernah ditampilkan di posting sebelum ini. Peta ini memperlihatkan kawasan dari Angke di barat hingga Ancol di timur, yang saat itu hampir sepenuhnya merupakan pesawahan dan perkebunan terutama tebu. Kawasan kota yang disebut Batavia sendiri hanya terdiri dari beberapa kompleks bangunan di selatan pelabuhan Sunda Kelapa, ditambah beberapa bangunan kecil di sepanjang Kali Besar. Pada saat itu Belanda menempatkan beberapa benteng dan pos pertahanan yang tampak jelas di peta ini, yaitu Ancol di timur, Jacatra di tenggara, Noordwyck di selatan, Anke di barat daya, serta Corps de Garde di Untung Jawa di barat laut.
Juru kartografi: Jacques-Nicolas Bellin
Sumber / Hak cipta: Indies Gallery
Catatan:

Sabtu, 15 November 2025

Propaganda semasa Perang Kemerdekaan yang menjelekkan Republik Indonesia dan memperindah Belanda (5)

Orang bilang, ketika dua kubu berkonflik maka pihak pertama yang menjadi korban adalah sang kebenaran. Kedua kubu akan berusaha mencari dukungan, baik dari dalam maupun dari luar, agar posisi dia semakin kuat dalam perseteruan. Usaha ini tidak jarang dilakukan dengan peluncuran propaganda yang tentunya membagus-baguskan diri sendiri, dan memburuk-burukkan pihak lain. Tidak jarang pula bahan propaganda ini tidak selaras dengan fakta dan kebenaran. Dan ini terjadi dari dulu hingga sekarang.

Rangkaian foto berikut akan menampilkan hal seperti ini. Semasa Perang Kemerdekaan dulu rupanya ada kalangan yang memunculkan foto-foto sebagai pembuktian bahwa Republik Indonesia itu menyengsarakan dan/atau masyarakat di Nusantara suka dengan pemerintahan Kerajaan Belanda. Kita akan coba untuk meneliti apa yang sebenarnya ditampilkan oleh foto-foto ini.


(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)
  • Teks asli penyerta foto:Tientallen Hindoes vluchten naar de Nederlanders en zijn daar veilig. Gevluchte Hindoe-families. West-Java.
  • Terjemahan:Puluhan umat Hindu mengungsi ke [wilayah yang dikuasai] Belanda dan menemukan keamanan di sana. Keluarga-keluarga Hindu yang mengungsi. Jawa Barat.
  • Bahasan:Berbeda dengan di Jawa Timur di mana ada wilayah dengan komunitas yang menganut agama Hindu, di Jawa Barat tidak ada kelompok seperti ini. Warga Badui, saat itu secara administratif masih masuk Jawa Barat, tidak menyebut diri penganut Hindu; pakaian yang dikenakan di foto ini pun bukanlah baju yang biasa dipakai warga Badui, baik yang dalam maupun yang luar. Jadi, kemungkinan besar ibu-ibu dan anak-anak ini sekedar warga yang berkumpul di tepi jalan untuk melihat rombongan militer Belanda lewat, dan difoto. Pihak propandis Belanda kemudian menggunakan foto ini dengan narasi bahwa kaum minoritas tidak merasa aman di wilayah Republik Indonesia dan lebih memilih mengungsi ke kawasan yang dikuasai militer Belanda.
  • Catatan:
Waktu: kemungkinan 1947
Tempat: kemungkinan Jawa Barat
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Beeldbank WO2 (Tweede Wereldoorlog) / NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie)
Catatan:

Jumat, 14 November 2025

Tayang ulang lukisan-lukisan karya Ernest Alfred Hardouin tentang aneka penampilan manusia di Jawa di abad ke-19 (12)

Ernest Alfred Hardouin aalah seorang pelukis yang lahir di Versailles, Perancis, pada tanggal 23 Januari 1820. Garis nasib membawanya ke Nusantara, di mana dia banyak mengabadikan wajah-wajah manusia di Jawa dalam bentuk lukisan. Hardouin wafat dalam usia relatif muda, yaitu 33 tahun, di kota tempat dia banyak mengeluarkan karyanya, yaitu di Jakarta pada tanggal 21 September 1953.

Blog ini pernah menampilkan rangkaian lukisan karya Hardouin ini, a.l. yang dimulai di posting ini. Warisan Hardouin ini turut berjasa untuk memperlihatkan bagaimana keadaan dan penampilan nenek moyang kita di sekitar 200 tahun lalu. Kali ini kita mencoba menayang ulang beberapa gambar yang sejatinya sudah pernah muncul, tetapi sekarang dari sumber lain dan dalam ukuran yang lebih besar. Kali ini kita coba juga untuk meminta bantuan AI untuk mereka-reka bagaimana penampilan sesungguhnya dari orang-orang yang digambar oleh Hardouin. Tentu saja, keluaran AI ini hanya merupakan pendekatan, bukan aslinya. Bahkan di beberapa detail, AI, karena keterbatasan di data latihannya harus menyerah dan menampilkan hal yang berbeda, atau malah mengambil kebebasan untuk menggambar menurut kemauan dia sendiri.


Hardouin memperlihatkan wajah seorang ulama di Jawa di abad ke-19, kemungkinan di sebuah area keagamaan misalnya mesjid atau pesantren. Dia mengenakan serban, sarung kotak-kotak, baju gamis yang ditutup jubahm serta sndal jepit. Dia juga membawa sebuah kitab dan tasbih.
(klik untuk memperbesar | @ Indies Gallery)
AI cukup berhasil dalam membuat lukisan Hardouin menjadi tampak realistis. Bagian-bagian dari pakaian si ulama, hingga ke kita dan tasbihnya tampak seperti hasil fotografi. AI tetapi menambahkan kumis dan janggut putih ke Pak Kyai yang membuatnya tampak lebih matang.
(klik untuk memperbesar)
Ini adalah seorang Tionghia yang duduk memainkan kongahyan, sebuah alat musik gesek yang kemudian menyebar ke masyarakat Betawi, Sunda, Jawa, hingga ke Bali. Pria ini digambarkan bertelanjang dada dan bertaucang dan kelihatan sedang berada di sebuah kawasan pecinan.
(klik untuk memperbesar | @ Indies Gallery)
Secara keseluruhan AI lumayan berhasil menampilkan gambaran yang lebih realistis dari lukisan Hardouin di atas. Si pemain konghayan digambarkan seperti nyata, begitu juga pria di latar belakang, kawasan perumahan hingga ke lampion yang menggantung. Kesalahan muncul di alat penggesek yang ditampilkan seperti sepasang sumpit yang panjang.
(klik untuk memperbesar)
 
Tahun terbit: 1855
Tempat terbit: Paris
Tokoh:
Deskripsi:
Juru foto/gambar: Ernest Alfred Hardouin
Sumber / Hak cipta: Indies Gallery
Catatan: