Sabtu, 31 Desember 2016

TNI hijrah dari Sukabumi (1): kedatangan pasukan TNI ke tempat berkumpul

PENGANTAR

Perundingan Renville menghasilkan keputusan yang diperdebatkan: di satu sisi, Belanda mengakui secara resmi eksistensi Republik Indonesia; di sisi lain, Republik Indonesia hanya diakui di Yogyakarta serta sebagian dari wilayah Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pasukan TNI harus hengkang dari luar wilayah itu. Maka dimulailah proses perpindahan pejuang TNI secara besar-besaran yang dikenal dengan istilah hijrah.

Banyak wilayah di Jawa Barat menjadi tempat awal proses hijrah. Pasukan TNI berkumpul a.l. di Cianjur, Ciwidey, Kuningan, Purwakarta, dan Sukabumi untuk meninggalkan kampung halaman dan tempat perjuangan menuju Jawa Tengah. Tapi bukan hanya dari Jawa Barat, proses hijrah juga tercatat terjadi di Sumatera Selatan (pangkalan udara Karang Endah, Gelumbang, Muara Enim), Jawa Tengah (Banyumas, Kroya), dan Jawa Timur (Bangil).

Pihak Belanda lumayan banyak membuat foto dari peristiwa ini. Betapa tidak, inilah kesempatan Belanda untuk mendokumentasikan pejuang TNI tanpa harus takut adanya baku tembak.

Kita akan lihat bagaimana pasukan TNI sebagian besar berperlengkapan seadanya, bahkan sering tanpa alas kaki. Tapi ini semua tidak menghalangi mereka untuk berbaris dengan bangga memasuki area permulaan hijrah. Ini akan sangat mendukung pernyataan bahwa TNI itu memang "berasal dari rakyat".

Beberapa foto lain akan memperlihatkan bagaimana beragamnya senjata TNI. Senjata-senjata itu harus diserahkan ke pihak Belanda sebelum proses hijrah dimulai. Kita akan lihat senapan dan mitraliur, granat dan ranjau, hingga ke pedang samurai Jepang, bahkan sampai ke ban-ban mobil untuk diserahkan ke pihak Belanda.

Kita juga akan lihat bahwa pasukan TNI bukan hanya lelaki, tetapi juga dari kaum perempuan. Ini sangat menarik buat pihak Belanda sehingga mereka membuat beberapa foto dari para pejuang wanita ini. Selain pejuang wanita, Belanda juga mencatat bahwa ada juga pejuang TNI yang masih bisa dikategorikan sebagai anak-anak. Selain itu, juru foto Belanda memperlihatkan bagaimana isteri dan keluarga pejuang TNI rela ikut meninggalkan kampung halaman mereka menuju wilayah baru yang boleh jadi tidak pernah mereka kenal atau lihat sebelumnya.

Selanjutnya, di beberapa foto akan kita lihat bagaimana pejuang TNI bisa ngobrol santai dengan pasukan Belanda, malah berfoto bersama sambil tersenyum. Suatu hal yang boleh jadi tak terbayangkan sebelumnya ketika kedua belah pihak masih saling bertempur.

Selamat menyimak bagian dari sejarah kita ini!

Pasukan TNI memasuki tempat berkumpul dengan diawasi oleh pengamat dari Perancis, Kapten Dhoste
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Pasukan TNI dengan senjatanya di tempat berkumpul
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Pasukan TNI dengan senjata dan "seragamnya": celana pendek, peci, sarung
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Prajurit TNI duduk-duduk, kemungkinan setelah menyerahkan senjata
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: awal Februari 1948
Tempat: Sukabumi (kemungkinan di wilayah Nyalindung)
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Hesselman
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Jumat, 30 Desember 2016

Masyarakat Belanda di Surabaya merayakan penobatan Ratu Wilhelmina, 1898

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: 1898
Tempat: Surabaya
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan: Wilhelmina menjadi ratu Belanda di tahun 1890 pada usia 10 tahun ketika bapaknya, Raja William III, meninggal. Penobatan resminya dilakukan ketika Wilhelmina menginjak usia 18 tahun.

Kamis, 29 Desember 2016

TNI hijrah dari Ciwidey (2)

PENGANTAR

Perundingan Renville menghasilkan keputusan yang diperdebatkan: di satu sisi, Belanda mengakui secara resmi eksistensi Republik Indonesia; di sisi lain, Republik Indonesia hanya diakui di Yogyakarta serta sebagian dari wilayah Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pasukan TNI harus hengkang dari luar wilayah itu. Maka dimulailah proses perpindahan pejuang TNI secara besar-besaran yang dikenal dengan istilah hijrah.

Banyak wilayah di Jawa Barat menjadi tempat awal proses hijrah. Pasukan TNI berkumpul a.l. di Cianjur, Cicurug, Ciwidey, Kuningan, Purwakarta, dan Sukabumi untuk meninggalkan kampung halaman dan tempat perjuangan menuju Jawa Tengah. Tapi bukan hanya dari Jawa Barat, proses hijrah juga tercatat terjadi di Sumatera Selatan (pangkalan udara Karang Endah, Gelumbang, Muara Enim), Jawa Tengah (Banyumas, Kroya), dan Jawa Timur (Bangil).

Pihak Belanda lumayan banyak membuat foto dari peristiwa ini. Betapa tidak, inilah kesempatan Belanda untuk mendokumentasikan pejuang TNI tanpa harus takut adanya baku tembak.

Kita akan lihat bagaimana pasukan TNI sebagian besar berperlengkapan seadanya, bahkan sering tanpa alas kaki. Tapi ini semua tidak menghalangi mereka untuk berbaris dengan bangga memasuki area permulaan hijrah. Ini akan sangat mendukung pernyataan bahwa TNI itu memang "berasal dari rakyat".

Beberapa foto lain akan memperlihatkan bagaimana beragamnya senjata TNI. Senjata-senjata itu harus diserahkan ke pihak Belanda sebelum proses hijrah dimulai. Kita akan lihat senapan dan mitraliur, granat dan ranjau, hingga ke pedang samurai Jepang, bahkan sampai ke ban-ban mobil untuk diserahkan ke pihak Belanda.

Kita juga akan lihat bahwa pasukan TNI bukan hanya lelaki, tetapi juga dari kaum perempuan. Ini sangat menarik buat pihak Belanda sehingga mereka membuat beberapa foto dari para pejuang wanita ini. Selain pejuang wanita, Belanda juga mencatat bahwa ada juga pejuang TNI yang masih bisa dikategorikan sebagai anak-anak. Selain itu, juru foto Belanda memperlihatkan bagaimana isteri dan keluarga pejuang TNI rela ikut meninggalkan kampung halaman mereka menuju wilayah baru yang boleh jadi tidak pernah mereka kenal atau lihat sebelumnya.

Selanjutnya, di beberapa foto akan kita lihat bagaimana pejuang TNI bisa ngobrol santai dengan pasukan Belanda, malah berfoto bersama sambil tersenyum. Suatu hal yang boleh jadi tak terbayangkan sebelumnya ketika kedua belah pihak masih saling bertempur.

Selamat menyimak bagian dari sejarah kita ini!

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 9 Februari 1948
Tempat: Ciwidey (Bandung)
Tokoh:
Peristiwa: Pihak TNI dan Belanda memeriksa senjata TNI yang diserahkan, membungkusnya, dan kemudian memuatnya ke truk Belanda.
Fotografer: Haasjes
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Rabu, 28 Desember 2016

Pasukan KNIL di tangsi Cimahi, 1927

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: 1927
Tempat: Cimahi
Tokoh:
Peristiwa: Pasukan KNIL berpose di depan tangsi mereka di Cimahi setelah menghadiri pemakaman Joannes Benedictus van Heutsz, panglima Belanda di Perang Aceh, pada tanggal 9 Juni 1927
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Selasa, 27 Desember 2016

TNI hijrah dari Ciwidey (1)

PENGANTAR

Perundingan Renville menghasilkan keputusan yang diperdebatkan: di satu sisi, Belanda mengakui secara resmi eksistensi Republik Indonesia; di sisi lain, Republik Indonesia hanya diakui di Yogyakarta serta sebagian dari wilayah Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Salah satu konsekuensinya adalah bahwa pasukan TNI harus hengkang dari luar wilayah itu. Maka dimulailah proses perpindahan pejuang TNI secara besar-besaran yang dikenal dengan istilah hijrah.

Banyak wilayah di Jawa Barat menjadi tempat awal proses hijrah. Pasukan TNI berkumpul a.l. di Cianjur, Ciwidey, Kuningan, Purwakarta, dan Sukabumi untuk meninggalkan kampung halaman dan tempat perjuangan menuju Jawa Tengah. Tapi bukan hanya dari Jawa Barat, proses hijrah juga tercatat terjadi di Sumatera Selatan (pangkalan udara Karang Endah, Gelumbang, Muara Enim), Jawa Tengah (Banyumas, Kroya), dan Jawa Timur (Bangil).

Pihak Belanda lumayan banyak membuat foto dari peristiwa ini. Betapa tidak, inilah kesempatan Belanda untuk mendokumentasikan pejuang TNI tanpa harus takut adanya baku tembak.

Kita akan lihat bagaimana pasukan TNI sebagian besar berperlengkapan seadanya, bahkan sering tanpa alas kaki. Tapi ini semua tidak menghalangi mereka untuk berbaris dengan bangga memasuki area permulaan hijrah. Ini akan sangat mendukung pernyataan bahwa TNI itu memang "berasal dari rakyat".

Beberapa foto lain akan memperlihatkan bagaimana beragamnya senjata TNI. Senjata-senjata itu harus diserahkan ke pihak Belanda sebelum proses hijrah dimulai. Kita akan lihat senapan dan mitraliur, granat dan ranjau, hingga ke pedang samurai Jepang, bahkan sampai ke ban-ban mobil untuk diserahkan ke pihak Belanda.

Kita juga akan lihat bahwa pasukan TNI bukan hanya lelaki, tetapi juga dari kaum perempuan. Ini sangat menarik buat pihak Belanda sehingga mereka membuat beberapa foto dari para pejuang wanita ini. Selain pejuang wanita, Belanda juga mencatat bahwa ada juga pejuang TNI yang masih bisa dikategorikan sebagai anak-anak. Selain itu, juru foto Belanda memperlihatkan bagaimana isteri dan keluarga pejuang TNI rela ikut meninggalkan kampung halaman mereka menuju wilayah baru yang boleh jadi tidak pernah mereka kenal atau lihat sebelumnya.

Selanjutnya, di beberapa foto akan kita lihat bagaimana pejuang TNI bisa ngobrol santai dengan pasukan Belanda, malah berfoto bersama sambil tersenyum. Suatu hal yang boleh jadi tak terbayangkan sebelumnya ketika kedua belah pihak masih saling bertempur.

Selamat menyimak bagian dari sejarah kita ini!

Pasukan TNI berbaris, tampaknya setelah menyerahkan senjata
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Persenjataan TNI yang diserahkan: tampak mitraliur di samping juga sepeda motor, ban, onderdil kendaraan, dll.
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Pasukan TNI berbaris di latar belakang
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Pasukan TNI berbaris sementara di latar belakang tampak truk Belanda memuat persenjataan TNI yang diserahkan
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Pihak TNI dan Belanda memeriksa persenjataan yang diserahkan
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 9 Februari 1948
Tempat: Ciwidey (Bandung)
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Haasjes
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Senin, 26 Desember 2016

Minggu, 25 Desember 2016

Sabtu, 24 Desember 2016

Panglima KNIL Letnan Jenderal Gustave Marie Verspyjck, 1892

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: kemungkinan besar 1892
Tempat: ?
Tokoh: Letnan Jenderal Gustave Marie Verspyjck (panglima KNIL yang terlibat di pertempuran di Monterado, Bengkayang; perang Banjar, perang Aceh I dan perang Aceh II)
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Jumat, 23 Desember 2016

Kegiatan tentara Belanda ketika tidak sedang menggempur pejuang Indonesia (16): berjemur dan mendengar gramofon

Palembang 23 Oktober 1947: Pasukan Belanda berjemur di atas bekas stasiun radar Jepang
(klik untuk memperbesar | © Bosman / gahetna)
Indralaya, 3 Februari 1948: Seorang tentara Belanda menikmati musik sementara di luar pasukan TNI siap diangkut untuk hijrah dari Sumatera Selatan
(klik untuk memperbesar | © Bosman / gahetna)
Waktu: 1947 & 1948
Tempat: Indralaya & Palembang
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Bosman
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Kamis, 22 Desember 2016

Wajah dunia industri dan teknologi Bandung di tahun 1920-an (2)

(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
Waktu: 1920-an
Tempat: Bandung
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Wijnand Elbert Kerkhoff
Sumber / Hak cipta: Nederlands Fotomuseum
Catatan:

Rabu, 21 Desember 2016

Kegiatan tentara Belanda ketika tidak sedang menggempur pejuang Indonesia (15): menjahit seragam

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 3 Februari 1948
Tempat: Indralaya (Sumatera Selatan)
Tokoh: 
Peristiwa: Seorang kapten Belanda dari kesatuan Stoottroepen sedang menjahit baju seragamnya yang tampaknya rusak.
Fotografer: Bosman
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Selasa, 20 Desember 2016

Wajah dunia industri dan teknologi Bandung di tahun 1920-an (1)

(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
(klik untuk memperbesar | © fotomuseum)
Waktu: 1920-an
Tempat: Bandung
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Wijnand Elbert Kerkhoff
Sumber / Hak cipta: Nederlands Fotomuseum
Catatan:

Senin, 19 Desember 2016

Letnan Kolonel Abdul Rivai, perwira TNI yang membelot ke pihak Belanda di Jawa Timur

Letnan Kolonel Abdul Rivai adalah komandan Brigade III/Damar Wulan di Jawa Timur. Di dalam sebuah pertempuran di Banyuwangi pihak Belanda menangkap Abdul Rivai. Perwira ini kemudian ditahan di Ambulu, Jember. Di dalam tahanan, militer Belanda berhasil mempengaruhi Abdul Rivai untuk memihak Belanda. Dikabarkan bahwa Belanda menjanjikan jabatan komandan Barisan Pengawal Negara Indonesia Timur dengan pangkat komisaris besar polisi sebagai balasan atas pembelotan ini.

Foto-foto di bawah memperlihatkan Abdul Rivai di dalam kendaraan militer Belanda, berbicara kepada masyarakat Bondowoso. Abdul Rivai antara lain mengumumkan bahwa para pejuang TNI di wilayah Jawa Timur harus menghentikan pertempuran dan melapor paling lambat tanggal 15 Juli 1949; yang tidak melapor selepas itu akan dianggap sebagai gerombolan liar di wilayah Negara Jawa Timur.

Abdul Rivai di kendaraan militer Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Masyarakat yang mendengarkan seruan Abdul Rivai
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Sebagian masyarakat yang hadir
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 30 Juni 1949
Tempat: Bondowoso
Tokoh: Abdul Rivai (letnan kolonel TNI yang membelot ke pihak Belanda di Jawa Timur)
Peristiwa: l.d.a.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Minggu, 18 Desember 2016

Willy Mullens membuat film di jalanan Surabaya, 1924

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: 1924
Tempat: Surabaya
Tokoh: Willy Mullens (perintis dunia perfilman Belanda)
Peristiwa: Bataafsche Petroleum Maatschappij (Maskapai Minyak Batavia) mengontrak Willy Mullens untuk membuat film tentang Hindia-Belanda. Willy Mullens tampak berdiri di atas mobil-trem listrik di depan kamera di Surabaya.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Sabtu, 17 Desember 2016

Warga lokal yang tidak bersahabat dengan para pejuang kemerdekaan 12: mantan pejuang yang kemudian berpihak pada Belanda

Tidak semua rakyat Hindia Belanda menginginkan kemerdekaan. Dengan berbagai alasan beberapa pihak malah lebih senang hidup di bawah kekuasaan Belanda atau malah memusuhi para pejuang kemerdekaan. Generalisasi tentu tidak bisa disimpulkan terhadap kelompok atau suku tertentu. Tapi foto-foto berikut mudah-mudahan bisa menambah bahan masukan untuk diskusi tentang hal ini.

12. Yang termasuk kelompok berbahaya adalah para pejuang yang tertangkap Belanda, kemudian berhasil dipengaruhi Belanda  untuk membelot dan berbalik arah untuk memihak Belanda dan memusuhi para mantan teman seperjuangan. Foto-foto di bawah memperlihatkan kesatuan seperti ini di Kediri, Jawa Timur.

Kesatuan mantan pejuang yang kemudian memihak Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Kesatuan mantan pejuang mendapat latihan gerak badan dari militer Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Kopral van Wageningen melatih kesatuan mantan pejuang dalam hal baris berbaris
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Kopral van der Horst menyuapkan pil kina kepada seorang anggota kesatuan pemihak Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: masa perang kemerdekaan
Tempat: Kediri
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: 
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Jumat, 16 Desember 2016

Johannes Latuharhary dan Anak Agung Gde Agung di acara pengakuan Negara Indonesia Timur oleh Republik Indonesia

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: 17 Januari 1948 (?)
Tempat: Jakarta
Tokoh: Johannes Latuharhary (pejuang perintis kemerdekaan Indonesia; kiri tengah), Ida Anak Agung Gde Agung (Wali Negara Indonesia Timur; kanan tengah)
Peristiwa: Johannes Latuharhary mewakili pemerintah Republik Indonesia, memberikan pengakuan atas Negara Indonesia Timur yang diterima oleh Anak Agung Gde Agung.
Fotografer: Aneta
Sumber / Hak cipta: ANP / Spaarnestad Photo
Catatan:

Kamis, 15 Desember 2016

Mayor Achmad Sachdi, perwira Siliwangi yang membelot ke pihak Belanda (4)

PENGANTAR

Mayor Achmad Sachdi adalah komandan Batalyon V Brigade 13 Divisi Siliwangi dengan wilayah operasi di pegunungan dan hutan-hutan Purwakarta dan Karawang di tahun 1948. Pada saat itu Divisi Siliwangi resminya sedang hijrah ke Jawa Tengah/Yogyakarta.

Di akhir tahun 1948 Achmad Sachdi memutuskan untuk menghentikan perjuangan. Bukan hanya itu, dia malah menyerahkan diri ke pihak Belanda. Dan bahkan lebih jauh lagi, dia bersedia untuk menjadi mesin propaganda militer Belanda untuk mengajak rakyat Pasundan untuk mendukung Belanda.

Maka di awal 1949, ketika Belanda melakukan agresi militer ke Yogyakarta, Achmad Sachdi berkeliling di sekitar Purwakarta untuk menyeru rakyat agar berpihak kepada Belanda. Dengan dikawal, didampingi, dan disopiri militer Belanda, Achmad Sachdi dengan seragam TNI-nya berbicara kepada masyarakat sekitar Purwakarta tentang bagaimana enaknya tetap berada di bawah kekuasaan Belanda.

Pada tahun itu juga ternyata Achmad Sachdi harus melihat bahwa Belanda pada akhirnya harus mengakui kemerdekaan Indonesia. Tetapi Achmad Sachdi tampaknya memang orang yang pandai menyintas. Dikabarkan hingga akhir hayatnya di tahun 1970-an dia dikenal sebagai politisi yang aktif di Golongan Karya.

Achmad Sachdi berbincang dengan masyarakat yang menjadi sasaran propagandanya
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Achmad Sachdi berbincang dengan masyarakat yang menjadi sasaran propagandanya
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Achmad Sachdi juga berbicara ke kelompok ibu-ibu yang ikut hadir tapi harus berada di luar ruangan
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 25 Januari 1949
Tempat: Purwakarta
Tokoh: Mayor Achmad Sachdi (komandan Siliwangi yang membelot ke pihak Belanda)
Peristiwa: Achmad Sachdi didampingi militer Belanda melakukan propaganda ke masyarakat Purwakarta untuk mendukung Belanda
Fotografer: H. Wakker
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Selasa, 13 Desember 2016

Mayor Achmad Sachdi, perwira Siliwangi yang membelot ke pihak Belanda (3)

PENGANTAR

Mayor Achmad Sachdi adalah komandan Batalyon V Brigade 13 Divisi Siliwangi dengan wilayah operasi di pegunungan dan hutan-hutan Purwakarta dan Karawang di tahun 1948. Pada saat itu Divisi Siliwangi resminya sedang hijrah ke Jawa Tengah/Yogyakarta.

Di akhir tahun 1948 Achmad Sachdi memutuskan untuk menghentikan perjuangan. Bukan hanya itu, dia malah menyerahkan diri ke pihak Belanda. Dan bahkan lebih jauh lagi, dia bersedia untuk menjadi mesin propaganda militer Belanda untuk mengajak rakyat Pasundan untuk mendukung Belanda.

Maka di awal 1949, ketika Belanda melakukan agresi militer ke Yogyakarta, Achmad Sachdi berkeliling di sekitar Purwakarta untuk menyeru rakyat agar berpihak kepada Belanda. Dengan dikawal, didampingi, dan disopiri militer Belanda, Achmad Sachdi dengan seragam TNI-nya berbicara kepada masyarakat sekitar Purwakarta tentang bagaimana enaknya tetap berada di bawah kekuasaan Belanda.

Pada tahun itu juga ternyata Achmad Sachdi harus melihat bahwa Belanda pada akhirnya harus mengakui kemerdekaan Indonesia. Tetapi Achmad Sachdi tampaknya memang orang yang pandai menyintas. Dikabarkan hingga akhir hayatnya di tahun 1970-an dia dikenal sebagai politisi yang aktif di Golongan Karya.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 25 Januari 1949Tempat: Purwakarta
Tokoh: Mayor Achmad Sachdi (komandan Siliwangi yang membelot ke pihak Belanda)
Peristiwa: Achmad Sachdi didampingi militer Belanda melakukan propaganda ke masyarakat Purwakarta untuk mendukung Belanda
Fotografer: H. Wakker
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: