Jumat, 31 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (26): Kerusakan dan pengungsian di Palembang dan sekitar Padang

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

Kehancuran di area pecinan Palembang
(klik untuk memperbesar | © W.F.J. Pielage / spaarnestad)
Kerusakan di pasar Padang Panjang (?) yang berdekatan dengan pemukiman warga Tionghoa
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
4 Juni 1948: Sekitar 240 warga Tionghoa dari Painan (Sumatera Barat) diungsikan ke Padang
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: 1948, masa perang kemerdekaan
Tempat: Palembang, Padang Panjang, Padang
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief / Spaarnestad Photo
Catatan:

Kamis, 30 Agustus 2018

Paviliun Indonesia (Hindia-Belanda) di Pameran Dunia 1900 di Paris

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: 1900
Tempat: Paris
Tokoh:
Peristiwa: Di Pameran Dunia atau Ekspo 1900 di Paris, pihak Hindia-Belanda menampilkan replika candi Sari lengkap dengan relief dan dua patung singa yang menjaga gerbang. Candi ini di kiri kanannya diapit oleh beberapa rumah gadang.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan: Candi Sari pada saat itu masih berupa reruntuhan.

Rabu, 29 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (25): Suasana di Jambi, pertengahan Januari 1949

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

13 Januari 1949: Usaha perbaikan di pasar setelah perusakan oleh para pejuang
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
14 Januari 1949: Suasan pasar pasca perusakan oleh para pejuang
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
14 Januari 1949: Warga berkerumun dengan latar belakang kerusakan di pasar
(klik untuk memperbesar | ©  gahetna)
14 Januari 1949: Warga dengan latar belakang reruntuhan pasar
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: Januari 1949Tempat: Jambi
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas pasar di Jambi yang berdekatan dengan perumahan warga Tionghoa yang dihancurkan para pejuang kemerdekaan dalam rentetan kekerasan menyusul Aksi Polisionil 2 yang dilancarkan militer Belanda.
Fotografer: Ad van Bennekom
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Selasa, 28 Agustus 2018

Sebuah delman hancur setelah melindas ranjau yang dipasang para pejuang, 1947

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: 21 Juli 1947
Tempat: Jawa Barat
Tokoh:
Peristiwa: Selama dan menjelang Aksi Polisionil 1, para pejuang menanam ranjau di berbagai jalan untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda. Sayangnya, ada ranjau yang justru memakan korban bangsa sendiri, seperti delman berpenumpang empat orang ini.
Fotografer: Hugo Wilmar
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Senin, 27 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (24): Suasana di Jambi, awal Januari 1949

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

Warga Tionghoa menyambut dan menjamu tentara Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Reruntuhan perumahan warga Tionghoa
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Seorang warga Tionghoa mencoba mencari barang yang masih dimanfaatkan di antara puing-puing
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Kompek perumahan warga Tionghoa yang hancur
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: 2 Januari 1949
Tempat: Jambi
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas perumahan warga Tionghoa di Jambi sebagai akibat dari aksi para pejuang kemerdekaan dalam rentetan kekerasan menyusul Aksi Polisionil 2 yang dilancarkan militer Belanda.
Fotografer: van Gorkum
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Minggu, 26 Agustus 2018

Seruan pemogokan pekerja di Belanda menentang perang penjajahan di Indonesia

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: masa perang kemerdekaan
Tempat: Belanda
Tokoh:
Peristiwa: Tidak semua warga Belanda mendukung perang di Indonesia, tidak sedikit yang malah bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia, antara lain serikat pekerja yang menyerukan persiapan mogok massal sebagai ungkapan penentangan atas serangan militer Belanda terhadap Republik Indonesia.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan, bunyi isi pamflet:
Bekendmaking. Tegen de Koloniale Oorlog. De Algemene Werkstaking. Met het oog op het dreigende gevaar van een militaire aanval op grote schaal tegen de Indonesische Republiek, heeft het Hoofdbestuur van de E.V.C. zich toet het N.V.V. en de Alg. Bond van Werkers in het Mijnbedrijft gericht, met het voorstel onmiddellijk te beraadslagen over de Voorbereiding van een algemene werkstaking tot welke dient te woden overgegaan indien de Ned. reactie kennelijk door toepassing van wapengeweld de beslissing tracht te forceren. Hoofdbestuur Eenheidsvakcentrale.

Sabtu, 25 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (23): Suasana di Jambi, akhir Desember 1948

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © van Krieken / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Desember 1949
Tempat: Jambi
Tokoh:
Peristiwa: Warga Tionghoa Jambi hilir mudik di jalanan perumahan mereka yang dihancurkan para pejuang kemerdekaan dalam rentetan kekerasan menyusul Aksi Polisionil 2 yang dilancarkan militer Belanda.
Fotografer: van Krieken
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Jumat, 24 Agustus 2018

Warga Vietnam di Jepang berunjuk rasa mendukung kemerdekaan Indonesia, 1949

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: 17 Januari 1949
Tempat: Taman Hibiya, Tokyo (Jepang)
Tokoh:
Peristiwa: Dr. Nguyen Rinh Nhiep, dengan diapit dua warga Vietnam lainnya, berorasi menentang Aksi Polisionil 2 yang dilancarkan Belanda, dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka mengusung pamflet bertuliskan Merdeka serta Vietnam serta pamflet lainnya dalam bahasa Inggris dan huruf Kanji.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan: Salah satu pamflet yang tampaknya diniatkan ironis berbunyi sbb.:
A message to Mr. Tojo,
Dear Tojo-San:
Though you've been hanged, we uphold your Pearl Harbor spirit..!
Yours very truly,
Dutch Militarists
The Hague, December 24 1948

Sementara karikatur menggambarkan seseorang bertuliskan Indonesia diseret oleh seorang wanita yang berkata Darling, you get into the coffin, please menuju kendaraan militer bertuliskan Dutch colonialism semantara orang-orang lain berlari menuju Conference dengan arah New Delhi.

Kamis, 23 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (22): Kerusakan di Deli Tua [2]

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (22): Kerusakan dan pengungsian di beberapa daerah di 1947, Aksi Polisionil 1, Tionghoa, bumi hangus, Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Juli 1947
Tempat: Deli Tua
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas perumahan warga Tionghoa di Deli Tua sebagai akibat dari aksi para pejuang kemerdekaan dalam rentetan kekerasan menyusul Aksi Polisionil 1 yang dilancarkan militer Belanda.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Rabu, 22 Agustus 2018

Arif Rahman Hakim berorasi menentang rezim Soekarno, 1966

(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: 28 Desember 1966
Tempat: Jakarta
Tokoh: Arif Rahman Hakim (tokoh mahasiswa UI di dalam perlawanan atas pemerintahan Soekarno)
Peristiwa:
Fotografer: Hugo Wilmar
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Selasa, 21 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (21): Kerusakan di Deli Tua [1]

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Juli 1947
Tempat: Deli Tua
Tokoh:
Peristiwa: Militer Belanda mendampingi seorang pengamat militer Tiongkok, ditemani dua warga Tionghoa lokal, menginspeksi perumahan warga Tionghoa di Deli Tua yang dihancurkan para pejuang kemerdekaan dalam rentetan kekerasan menyusul Aksi Polisionil 1 yang dilancarkan militer Belanda.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Senin, 20 Agustus 2018

Lukisan pemandangan karya Abraham Salm, Ernest Hardouin, dan F.C. Wilsen dari tahun 1870-an

Desa di kaki gunung Semeru, karya Abraham Salm, 1872
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Gunung Papandayan, Garut, karya F.C. Wilsen
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Berburu rusa di Priangan, karya Ernest Hardouin
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1872 (atas), antara 1865 dan 1876 (dua lukisan bawah)
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Abraham Salm, Ernest Hardouin, dan F.C. Wilsen
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Minggu, 19 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (20): Unjuk rasa di Medan

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: 4 September 1947
Tempat: Medan
Tokoh:
Peristiwa: Warga Tionghoa di Medan berunjuk rasa menentang para pejuang kemerdekaan yang dianggap sebagai kepanjangan atau kelanjutan dari kekejaman militer Jepang yang menimpa warga Tionghoa di masa pendudukan Jepang.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: Posting sebelum ini juga membahas hal yang sama.

Sabtu, 18 Agustus 2018

Lukisan karya L.H.W.M. de Stuers dari tahun 1860-an: Bogor, Magelang, Surakarta

Gadog, ketika belum kenal antrian macet
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Batutulis
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Pertunjukan Senenan di Magelang
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Acara rampogan sima (rampok macan) di Surakarta yang disaksikan sultan dan pembesar Belanda, salah satu penyebab punahnya harimau Jawa
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: antara 1865 dan 1876
Tempat: Bogor (Gadog, Batutulis), Magelang, Surakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: L.H.W.M. de Stuers
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Jumat, 17 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (19): Evakuasi di Cikajang, Garut

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © Exalto / gahetna)
Kolonel Lentz (kiri depan), komandan Brigade Infantri 3, dan Kolonel Paulusson (kanan depan), komandan Brigade W, yang membebaskan warga Tionghoa dari sebuah kampung di Cikajang (klik untuk memperbesar | © Exalto / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Exalto / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Exalto / gahetna)

Waktu: 28 Oktober 1947
Tempat: Cikajang (Garut)
Tokoh:
Peristiwa: Ketika militer Belanda merengsek maju ke kota Garut semasa Aksi Polisionil 1, Juli/Agustus 1947, para pejuang kemerdekaan mundur ke pedesaan. Mereka menggiring beberapa warga Tionghoa, dan menempatkannya di sebuah kampung di wilayah Cikajang. Di bulan Oktober 1947, lokasi ini diendus oleh Belanda yang kemudian mengerahkan paling tidak dua brigade untuk menjemput dan mengembalikan warga Tionghoa ini. Catatan Belanda menyebutkan ada sekitar 500 warga Tionghoa yang mereka temukan di kampung ini.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: Foto paling atas pernah dimuat di posting ini; kali ini dimunculkan lagi dengan ukuran yang lebih besar.

Kamis, 16 Agustus 2018

Lukisan karya Abraham Salm dari sekitar tahun 1872: Bogor

Kedungbadak
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Lembah di kaki gunung Salak
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Kedungbadak
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Rumah asisten-residen di Citeureup
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Iring-iringan pengantin di kaki gunung Salak
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1872
Tempat: Bogor (a.l. Citeureup dan Kedungbadak)
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Abraham Salm
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Rabu, 15 Agustus 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (18): Penggiringan di Pekalongan

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Juli/Agustus (?) 1947
Tempat: Pekalongan
Tokoh:
Peristiwa: Ketika pasukan Belanda merengsek maju ke kota Pekalongan, para pejuang menggiring warga Tionghoa ke arah pinggiran kota. Sumber Belanda menyebutkan ada sekitar 3000 warga Tionghoa yang digiring. Militer Belanda mengejar para pejuang dengan kendaraan lapis baja. Para pejuang yang kalah secara persenjataan memutuskan mundur dan melepaskan para warga Tionghoa ini. Foto-foto menunjukkan warga Tionghoa menyambut gembira kedatangan pasukan Belanda.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: