Selasa, 31 Juli 2018

Manusia di Jawa dan sekitarnya dalam lukisan warna Ernest Hardouin: Para priyayi

PENGANTAR

Foto-foto hitam-putih dari zaman dulu tidak mengabarkan warna sebenarnya di balik skala abu-abu yang ditampilkan. Warna langit, daun, atau rumput tentu mudah ditebak; tetapi warna pakaian tidak semudah itu untuk diterka. Untung ada gambar warna-warni dari para pelukis zaman dulu. Tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa si pelukis menampilkan warna pilihan dia yang berbeda dari yang sebenarnya, tapi paling tidak gambar seperti ini bisa memberikan bayangan tentang seperti apa zaman kelihatannya.

Salah satu pelukis itu adalah Ernest Hardouin yang mewariskan beberapa gambar dari sekitar tahun 1850-an. Hardouin tampak sudah menggambarkan proporsi manusia di Nusantara yang mendekati kenyataan, alias pendek; tidak seperti pelukis Eropa sebelumnya yang cenderung menampilkan manusia Nusantara jangkung seperti orang Eropa. Namun Hardouin kelihatannya menggambarkan orang di Jawa sehat-sehat atau cukup gizi; tidak kurus, ceking, atau tidak berisi. Boleh jadi Hardouin ingin menampilkan manusia yang estetis; bagaimanapun juga badan kurus kerontang bukanlah hal yang indah dipandang.

Selamat menikmati lukisan Hardouin!

Seorang bupati
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Abdi dalem
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Seorang menak dengan pakaian untuk berburu
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Aristokrat Jawa
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1850-an
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Ernest Hardouin
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Senin, 30 Juli 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (10): Pengungsian di wilayah Cirebon

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

22 Juli 1947: Warga Tionghoa menunggu kedatangan truk yang akan membawa mereka ke tempat pengungsian
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
22 Juli 1947: Warga Tionghoa diungsikan dengan bantuan militer Belanda
(klik untuk memperbesar | © van Kalken / gahetna)
25 Juli 1947: Warga Tionghoa di Jamblang, Cirebon, menyambut kedatangan tentara Belanda
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Waktu: 22/25Juli 1947
Tempat: Cirebon
Tokoh:
Peristiwa: Pengungsian warga Tionghoa di wilayah Cirebon di saat Aksi Polisionil 1.
Fotografer: van Kaken (dua foto pertama)
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Minggu, 29 Juli 2018

Manusia di Jawa dan sekitarnya dalam lukisan warna Ernest Hardouin: para perempuan

PENGANTAR

Foto-foto hitam-putih dari zaman dulu tidak mengabarkan warna sebenarnya di balik skala abu-abu yang ditampilkan. Warna langit, daun, atau rumput tentu mudah ditebak; tetapi warna pakaian tidak semudah itu untuk diterka. Untung ada gambar warna-warni dari para pelukis zaman dulu. Tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa si pelukis menampilkan warna pilihan dia yang berbeda dari yang sebenarnya, tapi paling tidak gambar seperti ini bisa memberikan bayangan tentang seperti apa zaman kelihatannya.

Salah satu pelukis itu adalah Ernest Hardouin yang mewariskan beberapa gambar dari sekitar tahun 1850-an. Hardouin tampak sudah menggambarkan proporsi manusia di Nusantara yang mendekati kenyataan, alias pendek; tidak seperti pelukis Eropa sebelumnya yang cenderung menampilkan manusia Nusantara jangkung seperti orang Eropa. Namun Hardouin kelihatannya menggambarkan orang di Jawa sehat-sehat atau cukup gizi; tidak kurus, ceking, atau tidak berisi. Boleh jadi Hardouin ingin menampilkan manusia yang estetis; bagaimanapun juga badan kurus kerontang bukanlah hal yang indah dipandang.

Selamat menikmati lukisan Hardouin!

Seorang "nyai"
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Pengantin Sunda
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Wanita mandi
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Pengantin Betawi
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Perempuan Palembang
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Perempuan Jawa (Barat?)
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1850-an
Tempat: Jakarta, Jawa, Palembang
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Ernest Hardouin
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Sabtu, 28 Juli 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (9): Kerusakan di Lubuk Alung (Padang Pariaman)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
Warga Tioghoa(?) yang tidak sempat diungsikan
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
5 Oktober 1947
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
5 Oktober 1947
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Agustus-Oktober 1947
Tempat: Lubuk Alung (Padang Pariaman)
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas komplek perumahan warga Tionghoa di Lubuk Alung (Padang Pariaman), yang dilakukan para pejuang kemerdekaan menyusul Aksi Polisionil 1 oleh pihak militer Belanda.
Fotografer: Staal
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: Foto paling atas pernah dimuat di posting sebelumnya, dengan posisi terbalik; kali ini dimuat lagi dengan kualitas lebih bagus dan ukuran lebih besar.

Jumat, 27 Juli 2018

Manusia di Jawa dan sekitarnya dalam lukisan warna Ernest Hardouin: Para pria

PENGANTAR

Foto-foto hitam-putih dari zaman dulu tidak mengabarkan warna sebenarnya di balik skala abu-abu yang ditampilkan. Warna langit, daun, atau rumput tentu mudah ditebak; tetapi warna pakaian tidak semudah itu untuk diterka. Untung ada gambar warna-warni dari para pelukis zaman dulu. Tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa si pelukis menampilkan warna pilihan dia yang berbeda dari yang sebenarnya, tapi paling tidak gambar seperti ini bisa memberikan bayangan tentang seperti apa zaman kelihatannya.

Salah satu pelukis itu adalah Ernest Hardouin yang mewariskan beberapa gambar dari sekitar tahun 1850-an. Hardouin tampak sudah menggambarkan proporsi manusia di Nusantara yang mendekati kenyataan, alias pendek; tidak seperti pelukis Eropa sebelumnya yang cenderung menampilkan manusia Nusantara jangkung seperti orang Eropa. Namun Hardouin kelihatannya menggambarkan orang di Jawa sehat-sehat atau cukup gizi; tidak kurus, ceking, atau tidak berisi. Boleh jadi Hardouin ingin menampilkan manusia yang estetis; bagaimanapun juga badan kurus kerontang bukanlah hal yang indah dipandang.

Selamat menikmati lukisan Hardouin!

Ulama
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Kelasi
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
"Jayeng sekar", pasukan kavaleri pribumi di bawah komando Belanda
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Kelasi, dengan latar belakang hitam putih
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Waktu: 1850-an
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Ernest Hardouin
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Kamis, 26 Juli 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (8): Kerusakan di pasar Lubuk Alung (Padang Pariaman)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)
(klik untuk memperbesar | © Staal / gahetna)

Waktu: Agustus 1947
Tempat: Lubuk Alung (Padang Pariaman)
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas kompleks pasar Lubuk Alung (Padang Pariaman) yang dihuni banyak warga Tionghoa, dilakukan para pejuang kemerdekaan di bulan Agustus 1947, menyusul Aksi Polisionil 1 oleh pihak militer Belanda.
Fotografer: Staal
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Rabu, 25 Juli 2018

Manusia di Jawa dan sekitarnya dalam lukisan warna Ernest Hardouin: pendatang

PENGANTAR

Foto-foto hitam-putih dari zaman dulu tidak mengabarkan warna sebenarnya di balik skala abu-abu yang ditampilkan. Warna langit, daun, atau rumput tentu mudah ditebak; tetapi warna pakaian tidak semudah itu untuk diterka. Untung ada gambar warna-warni dari para pelukis zaman dulu. Tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa si pelukis menampilkan warna pilihan dia yang berbeda dari yang sebenarnya, tapi paling tidak gambar seperti ini bisa memberikan bayangan tentang seperti apa zaman kelihatannya.

Salah satu pelukis itu adalah Ernest Hardouin yang mewariskan beberapa gambar dari sekitar tahun 1850-an. Hardouin tampak sudah menggambarkan proporsi manusia di Nusantara yang mendekati kenyataan, alias pendek; tidak seperti pelukis Eropa sebelumnya yang cenderung menampilkan manusia Nusantara jangkung seperti orang Eropa. Namun Hardouin kelihatannya menggambarkan orang di Jawa sehat-sehat atau cukup gizi; tidak kurus, ceking, atau tidak berisi. Boleh jadi Hardouin ingin menampilkan manusia yang estetis; bagaimanapun juga badan kurus kerontang bukanlah hal yang indah dipandang.

Selamat menikmati lukisan Hardouin!

Saudagar Arab
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Pendeta Tionghoa
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Pemain "kong a hian"
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Serdadu dari Afrika
Catatan: Belanda mengerahkan tentara seperti ini untuk melawan Pangeran Diponegoro dan para prajuritnya.
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Orang Eropa
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Waktu: 1850-an
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Ernest Hardouin
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Selasa, 24 Juli 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (7): Kerusakan di Karawang

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Juli 1947
Tempat: Karawang
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas bangunan warga Tionghoa di Karawang, a.l. pabrik penggilingan padi, yang dilakukan para pejuang kemerdekaan di bulan Juli 1947, menyusul Aksi Polisionil 1 oleh pihak militer Belanda.
Fotografer: Bill Carmiggelt
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Senin, 23 Juli 2018

Manusia di Jawa dan sekitarnya di tahun 1850-an dalam lukisan warna Ernest Harduoin: penari

PENGANTAR

Foto-foto hitam-putih dari zaman dulu tidak mengabarkan warna sebenarnya di balik skala abu-abu yang ditampilkan. Warna langit, daun, atau rumput tentu mudah ditebak; tetapi warna pakaian tidak semudah itu untuk diterka. Untung ada gambar warna-warni dari para pelukis zaman dulu. Tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa si pelukis menampilkan warna pilihan dia yang berbeda dari yang sebenarnya, tapi paling tidak gambar seperti ini bisa memberikan bayangan tentang seperti apa zaman kelihatannya.

Salah satu pelukis itu adalah Ernest Hardouin yang mewariskan beberapa gambar dari sekitar tahun 1850-an. Hardouin tampak sudah menggambarkan proporsi manusia di Nusantara yang mendekati kenyataan, alias pendek; tidak seperti pelukis Eropa sebelumnya yang cenderung menampilkan manusia Nusantara jangkung seperti orang Eropa. Namun Hardouin kelihatannya menggambarkan orang di Jawa sehat-sehat atau cukup gizi; tidak kurus, ceking, atau tidak berisi. Boleh jadi Hardouin ingin menampilkan manusia yang estetis; bagaimanapun juga badan kurus kerontang bukanlah hal yang indah dipandang.

Selamat menikmati lukisan Hardouin!

Penari keraton
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Penari ronggeng jalanan
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Penari topeng babakan
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Penari ronggeng jalanan
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1850-an
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer/Pelukis: Ernest Hardouin
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Minggu, 22 Juli 2018

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (6): Kerusakan di Karawang

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.

(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: Juli 1947
Tempat: Karawang
Tokoh:
Peristiwa: Kerusakan atas perumahan warga Tionghoa di Karawang, yang dilakukan para pejuang kemerdekaan di bulan Juli 1947, menyusul Aksi Polisionil 1 oleh pihak militer Belanda.
Fotografer: Bill Carmiggelt
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: