Senin, 31 Desember 2018

Menangkap binatang-binatang besar di zaman Belanda

Jawa, 1901-1902: Buaya sepit
(klik untuk memperbesar | © A.E.F. Muntz / Universiteit Leiden)
Cirebon, 1901-1902: Kalong
(klik untuk memperbesar | © A.E.F. Muntz / Universiteit Leiden)
Bali, sekitar 1913: Penyu
(klik untuk memperbesar | © Thilly Weissenborn / Studio Onnes Kurkdjian / spaarnestad)
Jawa, 1935: Buaya muara
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Sumatera, 1935: Orangutan
(klik untuk memperbesar | © G.A. Dinkel / spaarnestad)
Laut Jawa, 1935: Hiu
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: 1913, 1902, 1935
Tempat:  Cirebon, Jawa, Sumatera
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: A.E.F. Muntz, G.A. Dinkel, Thilly Weissenborn
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden / Spaarnestad Photo
Catatan:


UPDATE 4 Desember 2019: Tambahan foto buaya besar

Wonokromo (Surabaya), sebelum 1880: Buaya
(klik untuk memperbesar | © Herman Salzwedel / Universiteit Leiden)

UPDATE 11 Juni 2020: Tambahan foto

Menangkap hiu (di Surabaya?)
(klik untuk memperbesar | © NGA)

Minggu, 30 Desember 2018

Pasukan marinir Belanda dengan tank beratnya memasuki Tanggul, Jember, 1947


(klik untuk memperbesar | © Hugo Wilmar / spaarnestad)

(klik untuk memperbesar | © Hugo Wilmar / spaarnestad)
Waktu: 23 Juli 1947
Tempat: Tanggul (Jember)
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Hugo Wilmar
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:


UPDATE 3 Januari 2020
Foto nomor 2 dalam ukuran yang lebih besar:

(klik untuk memperbesar | © Het Geheugen / Spaanerstad)

Sabtu, 29 Desember 2018

Wanita pembatik di Jakarta dan Solo, 1902

Solo
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Jakarta
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1901-1902
Tempat: Jakarta, Solo
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: A.E.F. Muntz
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan:

Jumat, 28 Desember 2018

Beberapa foto dari masa perang kemerdekaan, 1947

Topi baja dan senapan yang ditinggalkan TNI
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Probolinggo, 22 Juli 1947: Pos pasukan Belanda di rel kereta
(klik untuk memperbesar | © Hugo Wilmar / spaarnestad)
Palembang, 23 Oktober 1947: Pasukan Belanda dengan latar belakang stasiun radar Jepang
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Poso, Oktober 1947: Kedatangan pasukan Belanda di Poso
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Sumatera, 23 November 1947: pasukan Belanda menurunkan sekelompok pejuang kemerdekaan yang tertawan dari sebuah truk
(klik untuk memperbesar | © Exalto / gahetna)

Waktu: 1947
Tempat: Palembang, Poso, Probolinggo
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: Hugo Wilmar (sebagian)
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief / Spaarnestad Photo
Catatan:

Kamis, 27 Desember 2018

Seekor harimau Jawa terkena perangkap di Gunung Kidul, Yogyakarta 1902

Kaki depan kiri si harimau tampak terjepit perangkap besi.
Sementara di belakang tampak sudah didatangkan kandang bambu untuk mengurungnya.
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: antara 1901-1902
Tempat: Gunung Kidul, Yogyakarta
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: A.E.F. Muntz
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan: Foto ini berasal dari album perjalanan seorang Belanda bernama A.E.F. Muntz yang berada di Hindia-Belanda dari Maret 1901 hingga ke Juli 1902.

Rabu, 26 Desember 2018

Beberapa foto dari masa perang kemerdekaan, 1946

Pasukan marinir Belanda menyeberangi sungai. Salah satu dari yang sudah di sungai bernama Mendes de Léon yang kemudian pada tanggal 4 Oktober 1946 terkena senjata penyembur api, dan tewas 15 hari setelah itu.
(klik untuk memperbesar | © Hugo Wilmar / spaarnestad)
Cililitan, September 1946: Manuver kesatuan tank ringan Belanda. Kendaraan lapis baja ini diberi nama "Van Dongen" untuk mengenang Kapten KNIL Eduard van Dongen yang tewas dalam pertempuran melawan pasukan Jepang di Ciater, Maret 1942.
(klik untuk memperbesar | © gahetna)
Padang, 29 November 1946: Seorang anggota TNI mengatur lalu lintas di depan bangunan yang dijadikan markas tentara Inggris
(klik untuk memperbesar | © van Krieken / gahetna)
Kuburan dua tentara Belanda yang tewas di sekitar Surabaya pada tanggal 30 Mei 1946, yaitu C.A. Diephuis dan Van der Elst.
Catatan: Foto dibuat tahun 1947.
(klik untuk memperbesar | © Hugo Wilmar / spaarnestad)

Waktu: 1946
Tempat: Cililitan (Jakarta), Padang, Surabaya
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: van Krieken / Hugo Wilmar
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief / Spaarnestad Photo
Catatan:

Selasa, 25 Desember 2018

Tradisi rampogan sima dalam lukisan Van Rappard, 1889

Rampogan sima atau rampok macan adalah tradisi masyarakat Jawa zaman dahulu yang ikut andil dalam mempercepat punahnya harimau Jawa. Adat ini biasanya dilaksanakan di alun-alun besar pada sebuah hari raya.

Dalam acara ini, harimau yang sudah ditangkap dari hutan atau pinggir hutan, dibawa ke tengah alun-alun dengan kandang tertutup. Sementara itu sekeliling alun-alun sudah dijaga rapat oleh para lelaki bersenjata bambu runcing panjang. Kandang harimau kemudian dibuka, kemungkinan besar dengan mekanisme jarak jauh dengan menggunakan tali. Si harimau akan keluar atau dipaksa keluar dengan api atau ledakan dan kemungkinan juga sorak sorai dari sekeliling alun-alun.

Naluri di macan tentunya akan berlari menjauh dari keramaian manusia. Tapi di tiap sudut yang dia dekati dia akan dihujani tusukan bambu runcing. Sebuah situasi yang tidak memang tidak memberi kesempatan bagi si harimau untuk menang. Pada akhirnya dia akan tewas, setelah kehabisan tenaga dan luka tusuk yang bertubi-tubi.

Di tahun 1905 pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melarang tradisi ini.

(klik untuk memperbesar | © Tropenmuseum)

Waktu: antara 1883-1889
Tempat: Jawa
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Tropenmuseum
Catatan:

Senin, 24 Desember 2018

Minggu, 23 Desember 2018

Tradisi rampogan sima di alun-alun Tulungagung, 1902

Rampogan sima atau rampok macan adalah tradisi masyarakat Jawa zaman dahulu yang ikut andil dalam mempercepat punahnya harimau Jawa. Adat ini biasanya dilaksanakan di alun-alun besar pada sebuah hari raya.

Dalam acara ini, harimau yang sudah ditangkap dari hutan atau pinggir hutan, dibawa ke tengah alun-alun dengan kandang tertutup. Sementara itu sekeliling alun-alun sudah dijaga rapat oleh para lelaki bersenjata bambu runcing panjang. Kandang harimau kemudian dibuka, kemungkinan besar dengan mekanisme jarak jauh dengan menggunakan tali. Si harimau akan keluar atau dipaksa keluar dengan api atau ledakan dan kemungkinan juga sorak sorai dari sekeliling alun-alun.

Naluri di macan tentunya akan berlari menjauh dari keramaian manusia. Tapi di tiap sudut yang dia dekati dia akan dihujani tusukan bambu runcing. Sebuah situasi yang tidak memang tidak memberi kesempatan bagi si harimau untuk menang. Pada akhirnya dia akan tewas, setelah kehabisan tenaga dan luka tusuk yang bertubi-tubi.

Di tahun 1905 pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melarang tradisi ini.

Paling tidak ada tiga kandang harimau di sini, di mana kandang yang tengah tampak berisi si raja rimba
(klik untuk memperbesar | © Tropenmuseum)
Enam kandang harimau terlihatdi alun-alun ini, sementara si macan sendiri terlihat sedang berlari di alun-alun
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: 1902
Tempat: Tulungagung
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: A.E.F. Muntz
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden / Tropenmuseum
Catatan: Foto bawah dipastikan berasal dari album perjalanan seorang Belanda bernama A.E.F. Muntz yang berada di Hindia-Belanda dari Maret 1901 hingga ke Juli 1902; sementara foto atas muncul tanpa keterangan, tetapi boleh jadi berasal dari A.E.F. Muntz juga. Di foto bawah tampak juga gerbang Tionghoa yang didirikan untuk perayaan Imlek.

Sabtu, 22 Desember 2018

Pendaratan pasukan NICA di Bali, 1946 (2)

Truk militer Belanda turun dari kapal MS Aleantara meluncur ke tanah Bali
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Para perwira Jepang yang masih berada di Bali bertemu para perwira Belanda di Sanur
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Jasad pemuda yang gugur dalam menolak kedatangan kembali kekuasaan Belanda di Bali
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Jasad-jasad pemuda lain, yang gugur dalam pertempuran melawan kedatangan kembali pasukan Belanda di Bali, dikuburkan secara massal
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Waktu: Maret 1946
Tempat: Bali
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: W.F.J. Pielage
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:

Jumat, 21 Desember 2018

Tradisi rampogan sima di alun-alun Blitar, 1892 (2)

Rampogan sima atau rampok macan adalah tradisi masyarakat Jawa zaman dahulu yang ikut andil dalam mempercepat punahnya harimau Jawa. Adat ini biasanya dilaksanakan di alun-alun besar pada sebuah hari raya.

Dalam acara ini, harimau yang sudah ditangkap dari hutan atau pinggir hutan, dibawa ke tengah alun-alun dengan kandang tertutup. Sementara itu sekeliling alun-alun sudah dijaga rapat oleh para lelaki bersenjata bambu runcing panjang. Kandang harimau kemudian dibuka, kemungkinan besar dengan mekanisme jarak jauh dengan menggunakan tali. Si harimau akan keluar atau dipaksa keluar dengan api atau ledakan dan kemungkinan juga sorak sorai dari sekeliling alun-alun.

Naluri di macan tentunya akan berlari menjauh dari keramaian manusia. Tapi di tiap sudut yang dia dekati dia akan dihujani tusukan bambu runcing. Sebuah situasi yang tidak memang tidak memberi kesempatan bagi si harimau untuk menang. Pada akhirnya dia akan tewas, setelah kehabisan tenaga dan luka tusuk yang bertubi-tubi.

Di tahun 1905 pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melarang tradisi ini.

Si harimau tergeletak mati di tengah alun-alun
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Penonton mulai berani masuk ke arena
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Kandang macan sudah kosong semua
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Acara berakhir ...
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden
... penonton bubar
(klik untuk memperbesar | © Tropenmuseum)

Waktu: antara 1877-1892
Tempat: Blitar
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: H.G. Rimestadt
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden / Tropenmuseum
Catatan: Foto-foto ini banyak beredar dan sudah banyak direproduksi sejak zaman Belanda dulu. Keterangan waktu dan tempat bisa bervariasi, tetapi tampaknya informasi yang dicantumkan di atas adalah yang paling akurat.

Kamis, 20 Desember 2018

Pendaratan pasukan NICA di Bali, 1946 (1)

18 Maret 1946: Kapal MS Aleantara yang membawa pasukan NICA menuju Bali. Tampak di kiri kanan kendaraan militer; sementara di tengah-tengah para tentara Belanda bersuka ria di kolam renang buatan.
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Kapal MS Aleantara menyusuri pantai Sanur untuk mencari tempat yang bisa digunakan untuk berlabuh dan menurunkan pasukan Belanda beserta perlengkapan militernya. Warga lokal tampak berbondong-bondong menonton datangnya kembali orang Belanda ke Bali setelah disapu bersih Jepang di tahun 1942.
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Seorang tentara Belanda, tanpa baju dan berkacak pinggang, mengawasi turunnya pintu rampa MS Aleantara. Di pinggir pantai tampak beberapa prajurit Jepang bersiap menyambut kedatangan kontingen pasukan Belanda; sementara masyarakat Sanur terlihat berkerumun meononton datangnya kembali militer Belanda ke Bali.
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)
Tentara Belanda tanpa baju di atas kapal MS Aleantara sebelum pendaratan.
(klik untuk memperbesar | © spaarnestad)

Waktu: Maret 1946
Tempat: Bali
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: W.F.J. Pielage
Sumber / Hak cipta: Spaarnestad Photo
Catatan:


UPDATE 2 Januari 2020
Tambahan foto dari peristiwa yang sama:

Tentara Jepang menyiapkan pendaratan pasukan Belanda
(klik untuk memperbesar | © Het Geheugen / Spaarnestad)

Rabu, 19 Desember 2018

Tradisi rampogan sima di alun-alun Blitar, 1892 (1)

Rampogan sima atau rampok macan adalah tradisi masyarakat Jawa zaman dahulu yang ikut andil dalam mempercepat punahnya harimau Jawa. Adat ini biasanya dilaksanakan di alun-alun besar pada sebuah hari raya.

Dalam acara ini, harimau yang sudah ditangkap dari hutan atau pinggir hutan, dibawa ke tengah alun-alun dengan kandang tertutup. Sementara itu sekeliling alun-alun sudah dijaga rapat oleh para lelaki bersenjata bambu runcing panjang. Kandang harimau kemudian dibuka, kemungkinan besar dengan mekanisme jarak jauh dengan menggunakan tali. Si harimau akan keluar atau dipaksa keluar dengan api atau ledakan dan kemungkinan juga sorak sorai dari sekeliling alun-alun.

Naluri di macan tentunya akan berlari menjauh dari keramaian manusia. Tapi di tiap sudut yang dia dekati dia akan dihujani tusukan bambu runcing. Sebuah situasi yang tidak memang tidak memberi kesempatan bagi si harimau untuk menang. Pada akhirnya dia akan tewas, setelah kehabisan tenaga dan luka tusuk yang bertubi-tubi.

Di tahun 1905 pemerintah kolonial Hindia-Belanda secara resmi melarang tradisi ini.

Semua mata tertuju ke kandang-kandang macan di tengah alun-alun
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Harimau yang tampaknya baru keluar dari kandang
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Si harimau sendiri di tengah-tengah alun-alun
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Si macan berlari dari satu sisi alun-alun ke sisi lain
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)
Keroyokan di salah satu sisi alun-alun
(klik untuk memperbesar | © Universiteit Leiden)

Waktu: antara 1877-1892
Tempat: Blitar
Tokoh:
Peristiwa:
Fotografer: H.G. Rimestadt  (atau Herman Salzwedel?)
Sumber / Hak cipta: Universiteit Leiden
Catatan: Foto-foto ini banyak beredar, terutama yang nomer 3 yang sudah banyak direproduksi sejak zaman Belanda dulu. Keterangan waktu dan tempat bisa bervariasi, tetapi tampaknya informasi yang dicantumkan di atas adalah yang paling akurat.


UPDATE 11 Juni 2020: Foto nomor 3 dari sumber lain

(klik untuk memperbesar | © NGA)