Kamis, 31 Juli 2014

Republik Indonesia Serikat (1) - Negara Sumatera Timur: Unjuk rasa di Pematang Siantar mendukung pembentukan NST

Pengantar: Sejarah Indonesia tentang masa tahun 1949-1950 akan menyebut kata RIS alias Republik Indonesia Serikat. Tetapi kita tidak banyak menemukan bahasan tentang hal itu. Boleh jadi karena negeri-negeri federasi ini dianggap negara boneka buatan Belanda, dan tokoh-tokohnya dipandang sebagai kaki tangan Belanda di dalam usaha mereka mempertahankan kendali mereka atas Indonesia.

Seri posting kali ini akan menampilkan beberapa foto yang berkenaan dengan RIS ini. Mudah-mudahan ini bisa berkontribusi di dalam menggali bagian sejarah Indonesia yang tampak terlantarkan ini.

Negara Sumatera Timur - Unjuk rasa di Pematang Siantar mendukung pembentukan NST 

© gahetna
© gahetna
© gahetna
© © gahetna
© gahetna
© gahetna
gahetna
gahetna

Waktu: 27 Agustus 1947
Tempat: Pematang Siantar
Tokoh: Tengku Mansyur (pemimpin Negara Sumatera Timur)
Peristiwa: Rentetan kejadian yang disebut Revolusi Sosial Sumatera Timur telah menumbuhkan sikap anti-republik di beberapa kalangan masyarakat di wilayah ini. Ini kemudian terakumulasi di tuntutan pembentukan Negara Sumatera Timur, seperti yang terlihat di unjuk rasa di Pematang Siantar ini. Di foto-foto ini kita melihat dukungan beberapa warga India, warga Tionghoa, dan warga lokal yang tampaknya terkait dengan para bangsawan wilayah ini, dan tentu saja pihak Belanda yang mengerahkan para petingginya (a.l. Komisaris Pemerintah J.J. van der Velde, dan Asisten Residen A. Schuyff).
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:


UPDATE 16 September 2019

Foto keenam dengan ukuran yang lebih besar:
(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)

Tambahan dua foto dari peristiwa yang sama:
(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)
(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)

Rabu, 30 Juli 2014

Delegasi Indonesia di perundingan Renville, 1948

klik untuk memperbesar (© gahetna)
Waktu: 17 Januari 1948
Tempat: Tanjung Priuk, Jakarta
Tokoh: Amir Syarifuddin Harahap (ketua delegasi Indonesia; berpeci di sebelah kanan), Haji Agus Salim (tengah, berpeci hitam), Ali Sastroamidjojo (sebelah kanan Agus Salim)
Peristiwa: Delegasi Indonesia di perundingan Renville, yang diketuai Amir Syarifuddin, dengan anggota a.l. Haji Agus Salim dan Ali Sastroamidjojo.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Selasa, 29 Juli 2014

Perundingan Renville, 1947

USS Renville, kapal perang Amerika Serikat yang menjadi tempat perundingan antara Indonesia dan Belanda Desember 1947 - Januari 1948, di sekitar Tanjung Priuk.
gahetna)
Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang kolonel KNIL asal Salatiga, yang menjadi pimpinan delegasi Belanda dalam Perundingan Renville, 10 Desember 1947.
(© gahetna)
Kolonel KNIL, Abdulkadir Widjojoatmodjo, berbicara atas nama pihak Belanda, 11 Desember 1947.
(© gahetna)
R. Kerby, penengah asal Australia, berbicara pada tanggal 11 Desember 1947. Di sebelah kanan Kerby tampak delegasi Indonesia yang dipimpin Achmad Soebardjo.
(© gahetna)

Waktu: Desember 1947
Tempat: Tanjung Priuk, Jakarta
Tokoh:
Peristiwa: Beberapa foto dari perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda di atas kapal USS Renville, 1947.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Senin, 28 Juli 2014

Soekarno di sebuah upacara Hari Kemerdekaan

(klik untuk memperbesar)
Waktu: 1960-an (?)
Tempat: Jakarta
Tokoh: Soekarno (Presiden RI), Abdul Haris Nasution (berjalan di belakang Soekarno?)
Peristiwa: Soekarno di sebuah upacara Hari Kemerdekaan
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:

Sabtu, 26 Juli 2014

Para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(klik untuk memperbesar)
(klik untuk memperbesar)
(klik untuk memperbesar)
Waktu: Agustus 1945
Tempat:
Tokoh: Para anggota PPKI, yaitu (nama sesuai yang tertulis di koran):
1. Soekarno
2. Hatta
3. Soepomo
4. Abd. Kadir
5. Radjiman
6. Oto Iskandar Dinata
7. Yap Tjwan Bing
8. Ratulangi
9. Hadikoesoemo
10. W. Hasyim
11. Md. Amir
12. Tengkoe Md. Hasan
13. Poeroebojo
14. Soerjohamidjojo
15. Andipangeran
16. Hamidan
17. Soetardjo
18. Soeroso
19. Latuharhari
20. I. Goesti Ketoet Poetje
Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 15 Agustus 2605 (=1945) mengumumkan nama-nama anggota Para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief 
Catatan:
1. Koran ini di berita utamanya mengabarkan bagaimana Soekarno dan Hatta menghadap "P.J.M. Saikoo Sikikan Daerah Selatan" (PJM = paduka yang mulia, saikoo sikikan = panglima tentara Jepang) di sebuah tempat yang tidak disebutkan.
2. Asia Raya terbitan 15 Agustus 1945 ini contoh yang "bagus" tentang propaganda. Meski pada tanggal tsb. Jepang secara resmi sudah menyerah kepada Sekutu, menyusul pembom-atoman Hiroshima dan Nagasaki beberapa hari sebelumnya, harian ini tetap mewartakan bagaimana "keberhasilan" tentara Jepang di dalam melawan musuh-musuhnya.


UPDATE 23 April 2019

Versi lain dari koran terbitan yang sama: kali ini dengan ukuran gambar lebih besar, dan dengan coretan-coretan yang tampaknya dibuat pihak Belanda.

(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)

Jumat, 25 Juli 2014

Soekarno berorasi (7)

(klik untuk memperbesar)
Waktu: Desember 1945
Tempat:
Tokoh: Soekarno (Presiden RI
Peristiwa:
Fotografer: Associated Newspapers
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief 


Kamis, 24 Juli 2014

Harian Asia Raya memberitakan janji Jepang untuk kemerdekaan Indonesia, 1944

(klik untuk memperbesar)
Waktu: September 1944
Tempat:
Tokoh:
Peristiwa: Harian Asia Raya terbitan 8 September 2604 (=1944) memberitakan janji PM Jepang, Kuniaki Koiso, untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief 
Catatan: Koran ini menggunakan tahun berdasarkan penanggalan Jepang.

Rabu, 23 Juli 2014

Soekarno berorasi (5), 1949

(klik untuk memperbesar)
Waktu: Desember 1949
Tempat: Jakarta
Tokoh: Soekarno (Presiden Indonesia)
Peristiwa:
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief 

Selasa, 22 Juli 2014

Soekarno dan Soeharto di upacara Hari Kemerdekaan 1966

(klik untuk memperbesar)
Waktu: 17 Agustus 1966
Tempat: Jakarta
Tokoh: Soekarno (Presiden RI), Soeharto (Ketua Presidium Kabinet Ampera I)
Peristiwa: Soekarno memimpin upacara peringatan kemerdekaan Indonesia 1966, didampingi Soeharto dan beberapa perwira tinggi lainnya.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief 
Catatan: Ini adalah terakhir kalinya Soekarno memimpin upacara hari kemerdekaan.

Senin, 21 Juli 2014

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (5)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.


Bagian 5: Peranan Konsul Republik Tiongkok
Ketika Republik Indonesia masih sangat muda, sebagian orang masih melihat bahwa status warga ex Hindia-Belanda tidak jelas. Ada yang beranggapan bahwa Republik Tiongkok (Kuomintang) harus menjadi kekuatan yang melindungi warga Tionghoa di wilayah yang dilanda konflik. Di sini kita akan melihat beberapa peninjauan oleh utusan Konsulat Tiongkok di berbagai tempat.

Mayor Pao, perwira militer Tiongkok, meninjau puing-puing perumahan warga Tionghoa di Pekanbaru yang dirusak para pejuang kemerdekaan. Januari 1949.
gahetna)
Wakil Konsul Tiongkok meninjau situasi di Semarang, didampingi 2 perwira militer.
gahetna)
Dua perwira militer Tiongkok di Semarang dalam lawatan Wakil Konsul Tiongkok ke kota ini.
gahetna)

Konsul Tiongkok Chieng Y Pe (?) di Palembang, dalam kunjungan Gubernur Jenderal van Mook ke wilayah ini.
gahetna)
Wakil Konsul Tiongkok meninjau situasi di Banyumas.
gahetna)

Konsul Tiongkok Lee Djin Gun (?) berbicara di depan warga Tionghoa di Medan yang menurut pemberitaan Belanda meminta bertahannya kekuasaan Belanda di wilayah ini. 4 September 1947.
gahetna)

Perwira militer Tiongkok, Kapten Li Chen Hsiung meninjau situasi di Purwakarta.
gahetna)

Waktu: masa perang kemerdekaan
Tempat: Pekanbaru, Semarang, Banyumas, Palembang, Purwakarta
Tokoh:
Peristiwa: Kunjungan para pejabat konsulat Tiongkok, termasuk para perwira militernya, ke berbagai kota di untuk meninjau situasi yang menyangkut warga Tionghoa semasa perang kemerdekaan.
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan: Menarik untuk dipelajari lebih lanjut:
1. Sejauh mana kunjungan-kunjungan di atas berpengaruh ke situasi warga Tionghoa saat itu.
2. Apakah ini juga mempengarugi sikap Tiongkok, sebegai pemegang kursi tetap di Dewan Keamanan, di dalam mendukung kemerdekaan Indonesia di PBB. Umumnya diketahui bahwa Tiongkok termasuk pendukung Indonesia.
3. Sejauh mana agama mengambil peran di dalam sikap Tiongkok. Chiang Kai-shek dikenal dekat dengan beberapa jenderal Muslim di jajaran tentara Tiongkok, dan para panglima perang ini loyal terhadap dia. Di saat perang kemerdekaan Indonesia, Chiang Kai-shek malah mempercayakan jabatan Menteri Pertahanan Nasional Tiongkok kepada Jenderal Bai Chongxi (Pai Chung-hsi), seorang jenderal Muslim.
4. Atau semua hal di atas sama sekali tidak ada peranannya, dan masalah warga Tionghoa di Indonesia tidak mendapat perhatian karena Kuomintang berkonsentrasi penuh ke masalah perseteruan dalam negeri di dalam perseteruan melawan golongan komunis pimpinan Mao Zedong?


UPDATE 4 Juli 2018
Berikut beberapa foto di atas tetapi dengan kualitas yang lebih bagus, dan ukuran lebih besar. Foto-foto dibuat tanggal 10 Oktober 1947 oleh Th. van de Burgt dan J.C. Taillie, meliput kedatangan Wakil Konsul Tiongkok di Jakarta, Chu Tsang Tung yang didampingi Kapten Li Chen Hsiung dan Letnan Hu Yung Shen di landasan pacu Wirasaba, Purbalingga, yang dilanjutkan dengan inspeksi ke wilayah sekitar Banyumas.
Letnan De Vries menyambut Wakil Konsul Chu Tsang Tung, disaksikan Kapten Li Chen Hsiung
(klik untuk memperbesar | © J.C. Taillie / gahetna)
D.ki.k.ka.: ?, Li Chen Hsiung, Chu Tsang Tung, Hu Yung Shen, De Vries
(klik untuk memperbesar | © Th. van de Burgt / gahetna)
D.ki.k.ka.: ?, Li Chen Hsiung, ?, Hu Yung Shen, De Vries
(klik untuk memperbesar | © Th. van de Burgt / gahetna)
D.ki.k.ka.: ?, Li Chen Hsiung, Kolonel J. Meyer (komandan Brigade V), Hu Yung Shen, De Vries
(klik untuk memperbesar | © Th. van de Burgt / gahetna)

Tambahan foto dari peristiwa yang sama:
D.ki.k.ka.: ?, Li Chen Hsiung, Hu Yung Shen, ?, Chu Tsang Tung
(klik untuk memperbesar | © J.C. Taillie / gahetna)

UPDATE 3 Agustus 2018
Foto nomor 4 dengan kualitas yang lebih bagus.
Palembang, 18 September 1947
(klik untuk memperbesar | © Th. van de Burgt / gahetna)

Minggu, 20 Juli 2014

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (4)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.


Bagian 4: Beberapa wajah warga Tionghoa

Seorang anggota satuan pengamanan warga Tionghoa menyaksikan kerusakan atas pemukiman Tionghoa di Sukabumi.
© gahetna
Seorang Tionghoa pemilik warung di Sungai Piring, Riau.
© gahetna
Waktu: masa perang kemerdekaan
Tempat: Sukabumi, Sungai Piring
Tokoh:
Peristiwa: Beberapa wajah warga Tionghoa semasa perang kemerdekaan.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief


UPDATE 23 April 2019

Tambahan foto yang memperlihatkan beberapa warga Tionghoa di depan sisa-sisa dinding rumah mereka. Tampak asap masih mengepul di latar belakang. Tidak disebutkan foto diambil di mana, tetapi kemungkinan besar berasal dari tahun 1947 di saat Aksi Polisionil 1.

(klik untuk memperbesar | © Beeldbank WO2 / NIOD)

Sabtu, 19 Juli 2014

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (3)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.


Bagian 3: Unjuk rasa anti pejuang kemerdekaan di Medan

© gahetna
© gahetna
Waktu: 4 September 1947
Tempat: Medan
Tokoh:
Peristiwa: Warga Tionghoa di Medan berunjuk rasa dengan spanduk anti pejuang kemerdekaan.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief
Catatan:


UPDATE 1 Agustus 2018
Posting tanggal 19 Agustus 2018 akan memuat foto tambahan dari peristiwa ini.

Jumat, 18 Juli 2014

Warga Tionghoa di masa perang kemerdekaan (2)

Pengantar: Kerusuhan 1998 termasuk bagian paling hitam di dalam sejarah hubungan warga "pribumi" dan Tionghoa di Indonesia. Peristiwa ini memicu munculnya era reformasi yang kemudian memberikan banyak kemajuan di dalam hubungan ini.

Harus diakui, peristiwa di tahun 1998 bukanlah yang pertama. Kekurang-harmonisan ini sudah ada puluhan tahun sebelumnya, termasuk di masa perang kemerdekaan. Blog ini sebelumnya sudah memperlihatkan perusakan pada harta benda warga Tionghoa yang dilakukan pejuang kemerdekaan di beberapa tempat, dan bagaimana Belanda dipandang sebagai pelindung warga Tionghoa dan terlibat dalam pembentukan milisi Tionghoa bersenjata yang berseteru dengan para pejuang.

Sebagian dari kita boleh jadi berpendapat "Ah, sudahlah, itu masa lalu. Tidak diusah diungkit-ungkit, hanya akan membuka luka dan borok lama. Kita lihat ke depan saja agar ada hubungan yang lebih harmonis." Pendapat seperti ini mengimplikasikan bahwa kita sebaiknya menutup sejarah yang tidak enak didengar. Di sini ada kemungkinan bahwa generasi ke depan, dari semua pihak baik "pribumi" maupun Tionghoa, tidak mencernai apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menghadapi risiko akan mengulang apa yang justru seharusnya dihindari.

Penyelidikan sejarah secara jernih, tanpa generalisasi, tanpa praduga, tanpa emosi, diharapkan bisa menjadi bahan yang berharga agar kita, semua, bisa belajar dari masa lalu. Gambar-gambar berikut mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi ke arah sana.


Bagian 2: Warga Tionghoa mengungsi di bawah perlindungan Belanda

Nusa Kambangan
© gahetna

Sukabumi
© gahetna

Pekalongan
© gahetna

Garut, Oktober 1947
© gahetna

Garut, Oktober 1947
© gahetna

Garut, Oktober 1947
(klik untuk memperbesar | © gahetna)

Waktu: masa perang kemerdekaan
Tempat: Garut, Nusa Kambangan, Pekalongan, Sukabumi
Tokoh:
Peristiwa: Warga Tionghoa mengungsi dengan perlindungan Belanda, menghindari serangan dari pejuang kemerdekaan.
Fotografer:
Sumber / Hak cipta: Het Nationaal Archief



UPDATE 1 Agustus 2018
Foto-foto dari Garut kemungkinan besar bukan menunjukkan pengungsian dengan kawalan pasukan Belanda, tetapi pemulangan warga Tionghoa, yang digiring para pejuang kemerdekaan ke sebuah kampung terpencil di Cikajang, kembali menuju kota Garut. Posting tanggal 17 Agustus 2018 akan memuat tambahan informasi dan foto tentang ini.